Daftar Blog Saya

Minggu, 07 Februari 2010

Antara Islam, Tasawuf, dan Kebatinan di Jawa

Arti tasawuf secara etimologis diperselisihkan oleh para ahli, karena perbedaan mereka dalam memandang asal-usul kata itu. Asal-usul kata tasawuf menurut pendapat para ahli antara lain sebagai berikut: (1) Tasawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih saf yang terdepan dalam salat berjamaah. Di samping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan Allah SWT (2) Tasawuf berasal dari kata saufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tapi subur batinnya. (3) Tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah artinya suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi Muhammad SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni suffah ini disebut ahlus suffah, mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, takwa, warak (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah. Adapun pegambilan kata suffah karena kemiripan tabiat para sufi dengan sifat-sifat ahlus suffah. (4) Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik. (5) Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya kehidupan seorag sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri pada Allah SWT Tuhan Yang Maha Suci sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci. (6) Tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu theosophi (Theo-Tuhan, Sophos-Hikmat) yang berarti hikmat Ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah Ketuhanan. (7) Tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nasr As Sarraj At Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan.

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia:

“Tasawuf adalah aspek esoteris atau kedalaman ajaran keagamaan. Tasawuf disebut juga sufism atau mistik Islam (Islamic Mysticism). Secara garis besar lingkup tasawuf mencakup usaha manusia utuk membersihkan diri dari perilaku atau akhlak tercela (takhalli) dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji (tahalli) agar tersingkap tirai yang mennghalagi hubungan manusia dengan Tuhan (tajalli). Jaadi laku tasawuf merupakan proses keberagamaan seseorang.”

Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic mysticism (mistik yang tumbuh dalam Islam). Adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf menurut Abdul Hakim Hasan dalam bukunya Al Tashawuf Fi-al Syi’ri al Arabi bahwa:

Sasaran atau tujuan tasawuf ialah sampai kepada Dzat Al Haqq atau Mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan Dia.

Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk sampai kepada Allah -agar dapat makrifat secara langsung kepada Dzat Allah- atau bahkan ada yang ingin bersatu dengan Tuhan.Makrifat di sini bukan melulu hanya pengetahuan semata, namun berupa pengalaman (experience). Yakni ingin bertemu langsung dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya bukan melalui panca indra serta akal. Tanggapan kejiwaan ini dapat dianalogikan seperti halnya mimpi atau mabuk (ecstasy) jiwanya sampai ke alam lain. Sebagai jalan untuk sampai kepada Allah disebut tarekat (Thariqah).

Yang kedua adalah mistik. Mistik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia ialah suatu proses yang bertujuan memenuhi keinginan atau hasrat manusia untuk mengalami dan merasakan bersatunya emosi dengan Tuhan dan kekuatan transenden lainnya. Penganut mistik percaya bahwa di balik realitas yang nyata ada realitas yang lebih tinggi, yang merupakan kebenaran sesungguhnya. Mereka yakin bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu di alam ini, termasuk diri manusia, sehingga orang dapat mencari kebenaran dan pengertian tentang Tuhan melalui diri sendiri.

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Budia Pradipta adalah mistik. Menurut Simuh kebatinan sebagian besar unsurnya adalah tasawuf.

Dalam membahas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini penulis meminjam beberapa definisi dari beberapa orang pakar seperti Simuh dan Hamka. Prof. Dr. Hamka mengatakan :

” Telah kita ketahui bahwa berbagai kepercayaan dan aliran-aliran kebatinan telah timbul dalam masyarakat kita di Indonesia ini. Gerakan semacam ini banyak sekali, terutama tumbuh di Jawa Tengah, dan ada juga di daerah-daerah lain”. ” Saya pernah diundang dua kali dalam ‘Purnama Sidi’ itu untuk mengadakan ceramah ‘kebatinan’. Dan saya kabulkan permintaan itu, lalu saya terangkan tasawuf Islam, gabungan ajaran Ghazali dan Ibnul Qayyim, dari kitab Ihya Ulumuddin dan Madarijus Salikin, Wongsonegoro SH (salah seorang tokohnya -pen) tertarik sekali dengan keterangan-keterangan itu dan memujinya. Dia mengatakan banyak ajaran-ajaran itu yang mirip dengan ajaran kebatinan. Saya diminta sering-sering mengisi ceramah agar kaum abangan tahu tentang tasawuf Islam dan melihat banyak kesamaan ajarannya”.


Yang kedua Dr. Simuh mengatakan bahwa kebatinan atau sufisme Jawa itu adalah transformasi dari tasawuf Islam ke mistik Jawa dan juga terjadi proses sinkretisasi atau akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa (hasil sinkretisme antara Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme).

Dari pendapat Hamka dan Simuh dapatlah dibuat definisi ‘Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ adalah kepercayaan yang dianut oleh golongan Islam abangan di Jawa yang bersumber dari sinkretisme Islam dengan animisme-dinamisme serta Hindu-Budha’.

Mengenai istilah kebatinan ada beberapa pendapat yang dikemukakan di sini. Pendapat pertama dari Drs. Warsito Sastroprajitno yang mengatakan:

“Kebatinan adalah kebudayaan spiritual dari kraton Jawa, yang berasal dari zaman yang sudah sangat tua dan mengalami perkembangan yang sangat unik pula”.

Dalam majalah Derap terbitan bulan Februari minggu III tahun 1978 halaman 35 dikatakan bahwa :

“Kebatinan bukan suatu agama dalam arti yang setepat-tepatnya seperti Islam, Budhisme, Hinduisme, atau Kristen. Tiada Gereja karena dianggapnya tidak perlu. Aliran ini tidak terlampau mempersoalkan masalah akhirat, sorga atau neraka atau malaikat dan iblis.

Kebatinan adalah suatu pencaharian metafisik akan suatu keselarasan di dalam batin orang, keselarasan antara batin sendiri dengan sesama manusia dan alam. Kebatinan merupakan paduan dari akultisme, metafisika, mistik, dan doktrin-doktrin lainnya, suatu ramuan khas kebolehan orang Jawa untuk mengadakan sinthesis“.

Selanjutnya Prof.Dr. Koentjaraningrat mendefinisikan bahwa:

“Mereka (kaum abangan) tidak dapat dikatakan orang yang beragama Islam yang tidak banyak menghiraukan agama, sebab sebenarnya agama yang mereka anut adalah suatu varian dari agama Islam Jawa, yaitu agama Jawi”.

Kalau menurut Azyumardi Azra, kebatinan Jawa itu digolongkan sebagai “kultus” atau bahasa Inggrisnya “cult”. Ia mengutip definisi Yinger dalam J. Milton Yinger , Society and the Individual: An Introduction to the Sociology of Religion, (New york, 1957), hal. 54-55. Oleh Yinger istilah “cult” digunakan dalam berbagai cara berbeda, yang biasanya mengacu kepada “kelompok keagamaan” berukuran kecil, yang mencari pengalaman mistik, memiliki strukur organisasii yang longgar, tetapi memiliki kepemimpinan kharismatik. Pada segi tertentu “cult” sama dengan “sect” (sekte) dalam pengertian bahwa keduanya merupakan “sempalan” dari suatu sistem agama yang mapan. Tetapi “cult” merupakan sempalan “paling ekstrim” dari tradisi keagamaan dominan dalam masyarakat. Dengan demikian “cult” berarti kelompok sempalan yang menyimpang dari “universal church“, ia merupakan kelompok kecil bersifat lokal, berumur singkat dan sering berkembang di sekitar seorang pemimpin dominan. Ia juga berakulturasi dengan budaya lokal. Dalam “cult” yang merupakan varian dari agama Islam kadang terjadi proses pengentalan “cult”, kadang terjadi proses pengenceran “cult” atau ortodoksi, kembali ke ajaran Islam yang ortodoks seperti yang terjadi pada “cult” Black Muslims di Amerika Serikat. Demikian pula yang terjadi dalam ajaran kelompok-kelompok kebatinan Jawa kadang mengalami proses ortodoksi (ditarik mendekat ke Islam), kadang mengalami pengentalan “Cult” (diulur menjauh dari Islam) bahkan tanpa takut-takut memproklamirkan diri sebagai agama baru seperti ADARI (Agama Djawa Republik Indonesia) dan IIH (Iman Igama Hak).

Ada satu kitab yang memperlihatkan percampuran antar Islam dengan agama setempat di Jawa. Menurut penulis kitab inilah yang menjadi ajaran pokok dari aliran kepercayaan dan gerakan aliran kepercayaan sekarang Kitab itu adalah Wirid Hidayat Jati, dikarang oleh Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito. Menurut Simuh kitab ini adalah hasil akulturasi antara ajaran Islam-Pesantren (suatu sistem pendidikan di mana Ronggowarsito belajar) dengan budaya kraton Jawa tempat Ronggowarsito dilahirkan dan dibesarkan serta di kemudian harinya mengabdikan diri di sana. Menurutnya kitab ini berisi ajaran Union-Mistik. Sebagai suatu bentuk ajaran Union-Mistik (paham mistik yang mengajarkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan), uraian tentang Tuhan dalam Wirid Hidayat Jati tak dapat dipisahkan dengan uraian tentang manusia. Karena, setiap ajaran mistik yang berpaham union mistik tidak menarik garis perbedaan yang tegas dan esensial antara manusia dan Tuhan. Maka ungkapan tentang Tuhan, dalam paham union mistik selalu tumpang tindih dengan pernyataan tentang manusia. Karena, manusia memang bukan Tuhan, namun demikian ia merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan Tuhan, sehingga tidak lain daripada Dia. Itulah logika union mistik. Hubungan Tuhan dengan manusia sering diibaratkan dengan hubungan manisnya madu dengan madu, atau laut dengan ombak. Simuh mengatakan bahwa paham union mistik dalam Wirid Hidayat Jati adalah perpaduan dari paham dalam tasawuf Islam yaitu Wihdatul Wujud-nya Al Hallaj dan Ibn ‘Arabi

Pemahaman H.M. Rasyidi pada Wirid Hidayat Jati adalah sebagai literatur kebatinan bukan literatur Islam. Ia mencatat ada 4 buku yang disebut sebagai literatur kebatinan yaitu Serat Centini, Darmogandul, Gatoloco dan Wirid Hidayat Jati. Mengenai Darmogandul dan Gatoloco dinilai oleh Hamka karya itu bukan semata-mata sinkretisme, mencari-cari persamaan antara Hindu, Budha, dan Islam melainkan membuat tafsir tentang ajaran Islam jauh daripada yang diajarkan Islam yang murni, sehingga orang yang membacanya akan terkesan bahwa isinya mengejek Islam bahkan menjadikan Islam itu obyek penghinaan dan tertawaan. H.M. Rasyidi menilai wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito sebagai karya yang lebih tinggi mutunya dari Darmogandul dan Gatoloco, tetapi ia juga memberikan tafsir yang bukan-bukan.

Konflik antara Islam dengan aliran kepercayaan dimulai dengan timbulnya kesadaran akan modernisme pemikiran Islam dari kalangan muslim santri (putihan), yaitu gerakan purifikasi pelaksanaan agama dan mensintesiskan pemikiran Barat yang dianggap pembawa kemajuan dengan Al Quran dan Sunnah sebagai doktrin Islam di berbagai aspek kehidupan (seperti politik, ekonomi, sosial, ritual, dan lain-lain).

Tema besar gerakan modern Islam di Jawa ketika itu adalah memurnikan agama dan memerangi bid’ah (mengada-adakan yang tidak ada perintahnya dalam ibadah) dan khurafat (dongeng, tahayul). Gerakan ini cenderung menitikberatkan persoalan pada masalah fiqh (hukum-hukum) dan kebangunan pemikiran teologi dan filsafat dan kurang mengindahkan aspek batin yang menjadi titik tolak tasawuf, alam pikiran sufisme, ataupun kebatinan. Gerakan modernisme Islam menjadi antitesis tasawuf dan kebatinan. Kaum modernis menganggap bahwa tasawuf, apalagi kebatinan, akan menjadi hambatan bagi upaya modernisasi dalam arti mengejar ketertinggalan iptek dari Barat.

Persentuhan budaya dengan perkembangan Islam di Jawa yang melahirkan gerakan modernis ini secara langsung atau tidak langsung mendesak alam pikiran Jawa terutama hal-hal yang bersifat mitologis, magis, dan mistis.

Desakan ini mengena pada bentuk Islam tradisional yang berbasis di pesantren-pesantren dan tarekat-tarekat, juga mengena pada berbagai macam aliran kebatinan di Jawa dan penulis hanya membahas benturan antara Islam (dalam hal ini modernisme Islam) dengan aliran kebatinan/aliran kepercayaan pada masa Orde Baru. Sebagai latar belakang penulis membahas perbenturan antara Islam dengan kebatinan sejak masa pergerakan nasional. Karena secara legal formal gerakan-gerakan modernis Islam lahir pada masa ini yaitu periode 1900-1942. Menurut Simuh secara organisasional kelompok-kelompok kebatinan atau kejawen lahir mulai masa pergerakan nasional. Menurut Soedjatmoko aliran-aliran kebatinan atau kejawen mulai diorganisir rapi sejak masa pergerakan kebangsaan.

Dalam benturan-benturan di lapangan, misalnya perdebatan lisan sulit dideteksi dan diidentifikasi, apakah ini perdebatan antara modernisme Islam dengan aliran kepercayaan ataukah antara modernisme Islam dengan tradisionalisme Islam. Sejak masuknya agama Islam ke Indonesia pertentangan di antara umat Islam –yang menurut Hamka “Islam Sunni” – dengan gerakan kebatinan itu sudah ada. Perbenturan kemudian antara Islam dengan kebatinan terjadi sejak beralihnya pusat kerajaan Jawa Islam dari Demak ke Pajang. Sunan Kudus pernah menjatuhkan hukuman mati kepada Ki Kebo Kenongo, penyebar gerakan kebatinan, lalu anaknya yaitu Adiwijoyo atau Jaka Tingkir atau Mas Karebet ingin menuntut balas. Adiwijoyo berhasil menjadi raja Pajang dan memindahkan pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang. Sejak masa Pajang inilah dicari persesuaiaan dengan warisan budaya Jawa lama dan Islam. Islam diterima, tetapi hendaknya ‘dijawakan’. Sejak masa Pajang inilah populernya sebutan Kejawen.

Perbenturan berikutnya antara Islam dan kebatinan terjadi pada abad ke-18 atau lebih tepatnya pada masa kekuasaan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya Pakubuwana II (1726-1749), yaitu antara Ketib Anom Kudus mewakili kalangan Islam dengan Haji Mutamakim yang divonis hukum bakar di tiang gantungan karena mengajarkan ajaran Kasunyatan dan menganjurkan meninggalkan Syari’ah (hukum Islam).

Perbenturan kemudian terjadi pada Perang Padri pada abad ke-19 di Sumatera Barat kalau kita memakai definisi ‘aliran kepercayaan sama dengan sinkretisme Islam’. Hamka mengatakan bahwa sinkretisme Islam juga ada di Sumatera Barat dan di seluruh daerah di Indonesia, tetapi yang paling kental di Jawa. Sinkretisme Islam di Sumatra Barat merasuk ke dalam sifat keberagaman kaum tradisional Islam dan kaum adat. Tetapi penulis tidak akan membahas hal itu karena sulit sekali untuk mengatakan bahwa sistem adat di seluruh Indonesia itu berlawanan dengan Islam. Hal ini terletak di luar maksud tulisan ini, lagipula oleh berbedanya sistem adat yang satu dengan yang lain, penilaian sedemikian meminta tenaga dan pemikiran khusus pula. Dan juga sulit sekali membedakan antara kaum adat dengan kaum tradisionalis Islam, apalagi mengatakan bahwa kaum adat adalah penganut aliran kepercayaan. Sehingga penulis tidak bisa mengatakan bahwa konflik yang terjadi di sana adalah konflik antara Islam dengan aliran kepercayaan.

Berbeda halnya dengan keadaan di Jawa. Ada pembagian tertentu dalam kalangan masyarakat yang masih berlaku hingga kini, dan yang menunjukkan adanya perbedaan cara hidup antara golongan yang sama-sama beragama Islam itu. Pembagian ini ialah penggolongan antara abangan dan putihan. Putihan ialah mereka yang taat beragama. Abangan adalah mereka yang namanya saja beragama Islam, yang kurang memperhatikan kewajiban-kewajiban berupa ibadah, dan membatasi pada peristiwa-peristiwa penting belaka dalam hidup, yaitu pada waktu lahir, akil baligh (waktu bersunat), kawin, dan mati. Pada peristiwa-peristiwa ini nampak sekali hasrat mereka akan agama, dan pergilah mereka meminta pertolongan golongan putihan untuk menunaikan kewajiban atau pun upacara-upacara yang bersangkutan dengannya.

Pembedaan antara putihan dan abangan ini di Jawa pada akhir abad ke-19 tidak mengandung sifat perselisihan. Pembedaan antara putihan dan abangan di Jawa pada permulaan abad ke-20 hanyalah merupakan pembedaan yang menunjukkan tebal tipisnya ketaatan seseorang terhadap Islam. Dalam perasaan dan sebutan semuanya menyebutkan diri mereka orang Islam, wong selam.

Memang benar dapat dikatakan bahwa Islam merupakan lapisan yang tipis belaka dalam hidup kebanyakan pengikutnya di Indonesia terutama pada permulaan abad ke-20. Pada masa itu ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai tebal tipisnya ketaatan seseorang dalam beragama tidaklah tinggi, misalnya mengaku Islam dan tidak makan babi dan akan dianggap sangat soleh kalau orang rajin shalat lima waktu walaupun ia banyak juga melanggar larangan agama.

Penulis memberi porsi yang cukup besar pada masa pergerakan nasional sebagai latar belakang karena perbenturan antara Islam dan kebatinan cukup terlihat yang refleksinya menjadi suatu gerakan pada masa Orde Baru. Sementara pada masa demokrasi terpimpin para pengikut aliran kepercayaan banyak yang menjadi anggota PKI dan beberapa partai lain. Debat antara pengikut aliran kepercayaan dengan anggota partai Islam masih berlangsung, tetapi menjadi sulit dibedakan antara debat agama dengan debat politik. Masalah perselisihan antara aliran kepercayaan dengan Islam ini menjadi panas kembali pada masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan yang sangat khas yakni perpaduan dari: (1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa; (2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan; (3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar