Daftar Blog Saya

Jumat, 03 Desember 2010

CONTOH LEADERSHIP PUNAKAWAN
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG

“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
“Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana”

“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi.


Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot). Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu dituakan dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan sebutan “kakang”.

Kelompok punakawan ini bertugas :
Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.
Makna di Balik Simbol Punakawan
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.



2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.

3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.

Selasa, 02 Maret 2010

Kamis, 11 Februari 2010

SERAT CENTINI JILID 1

SERAT CENTINI JILID I (Lanjutan)
By Mas Kumitir


PUPUH XXXV

DHANDHANGGULA


– 01 –

Lon umatur Raden Jayengresmi, kadiparan dinten kang prayoga, punapi wonten sanese, utawi wancinipun, mawi milih mawi nyingkir, ki Buyut angandika, punika masputu, etang minangka satiyar, angluluri nasehat ing nguni-uni, wiji saking ing Arab.


– 02 –

Pan punika masalah ngawruhi, ingkang pangandika, Nabiyullah, salahu wasalame, sakehe umatingsun, padha ngawruhana ing nginggil, patingkah alulungan, milya kang sarju aja lungan tanggal pisan, ta na laba lungana, tanggal ping kalih, pan iya oleh laba.


– 03 –

Tanggal kaping tiga datan becik, tan na laba tanggal kaping papan, rekasa angen margane, tanggal ping lima iku, manggih laba kaping nemneki, tan manggih laba ilang, karyane wong iku, tanggal ping pitu prayoga, manggih rahmating Pangeran tanggal kaping, wolu agring ingi paran.


– 04 –

Tanggal kaping sanga manggih pati, lan pakewuh tur padha sumadhang, tanggal kaping sadasane, manggih laba rahayu, ping sawelas apenget ugi, tanggal ping kalihwelas, tan ana labeku, tanggal kaping tigawelas, oleh utang tanggal pat belas becik, neng parang manggih laba.


– 05 –

Tanggal ping limalas ayu olih, emas perak tanggal ping nembelas, tan antuk laba tanggale, ping pitulas rahayu, p8ing wolulas pan laba manggih, tanggal kaping sangalas, penet pan rahayu, tanggal kaping kalihdasa, gering marga, tanggal ping salikur ugi, (ng)garesah aneng paran.


– 06 –

Tanggal ping rorikur ayu becik, tanggal telulikur laba karya, tanggal kaping patlikure, penet ping limalikur, mapan ala tanggale kaping, nemlikur gesang pejah, punika pinangguh, tanggal pitulikur ala, bakal tukar iya ananireng margi, tanggal wolulikurnya.


– 07 –

Oleh laba sangalikurneki, manggih rahmat saking ing Pangeran, tanggal ping tigadasane, manggih utang neng purug, tititelas masalah iki, ing wong kang alulungan, pangandika Rosul-lolah, salahiwasalam, dipun sami nastiti kadi punika, inggih waluhualam.


– 08 –

Lampaira Kangjeng para Nai, lamun badhe mangkat saking wisma, isarat ingkang kaangge, Jumungah akakemu, lan asusur lampahing Nabi, Muhammad Rosullolah, lamun dina Sabtu, punika angandhut lemah, dinekekken ing puser lapahing Nabi, Adam ingkang minulya.


– 09 –

Dinten Ahan angangge susumping lapahipun Jeng Yusup Bagendha, Isnen natab lalandhepe, Bagendha Umar laku, Slasa manggan asta ing geni, Bagendha Abubakar, ingkan darbe laku, Rebo akukudhung sinjang, lampahipun Nabi Ayub singgih, Kemis tumengeng tawang.


– 10 –

Myang tumungkul ing bantala nenggih, lapahipun Sang Ali Bagendha, winewahan sangatane, kalamun arsa nglurug, angkatira pan sampun uning, langkahe ingkan pecak, sangat lamun sampun, pecak sadasa umangkal, pangwasane sang Gadudha kawon dening, sadhengahing taksaka.


– 11 –

Isnen wusing pecak nem lumaris, pangawasane singa krura kalah, dene*) manjangan yektine. Salasa lamun sampun, pecak kalih angkatireki, pangawasanipun singa, ingkang sru manempuh, kayon dening kang dirada, Rebo wusing pesak pipitu lumaris, menggah pangasanira.


– 12 –

Diwangkara kawong dening sasi, Kemis wusing pesak dwilyas **) Jumungahapan sampuning, pecak triwelas mangkat, de pangawasipun, sona dening kancil kalah, Saptu wusing pecak dwiwelas lumaris, denen pangawasanira.


– 13 –

Sawer kawon dengin kodhok bungkik, tamat sangat Sang Ali Bagendha, wonten santat ingkang kangge, aningkahaken sunu, myang ngadegken sadhengah panti, punika manut tanggal, sapisan witipun, kaping kalih kaping tiga, ping sakawan pang gangsal gya wangsul malih, nem kadi ping sapisan.


– 14 –

Tanggal kaping sapisan pan sami, kaping nenem sawelas nembelas, salikur myang nemlkure, wit surya wedalipun, tekeng pecak slikur potneki. Ahmad pitutur nyata, wit pecak salikur epote pecak sawelas, Jabarail kalangan tangkepanneki, awit pecak sawelas.


– 15 –

Epot bedhuk Brahmin pecak-wesi, awit bedhug ing potipun Asar, Yusup slamet rangeppane, Asar sawengi muput, epot enjing Hyang Surya mijil, Ngijrail rejekinnya, ping kalih winuwus, sami lawan kaping sapta, kalihwelas pitulas rorikur nengggih, myang pitulikur samya.


– 16 –

Purnamaning Hyang Pradangapati, epot pesak salikur punika, Jabarail rejekine, wiwit pecak salikur, epot pecak sawlas Ibrahim, pitulikur rangkepannya, sawlas epot bedhug, Yusup kalangan tangkepnya, bedhuk potnya Irjail apacak-wesi, asar sadalu pisan.


– 17 –

Pole tekeng purnamaning rawi, Ahmad slamet tanggal kaping tiga, ping wolu ping triwelas, wolulas tigalikur, wolulikur punika sami, wit purnamaning surya, pot pecak salikur, Ibrahim slamet rangkepan, pecak slikur pot pecak sawilas marengi, Yusup rijekinira.


– 18 –

Pecak sawlas epot bedhug wanci, Ngijrail pitutur rangkepan, bedhug tekeng Asar pote, Ahmad kalanganipun, awit pasar potira prapti, purnamaning Hyang Surya, Jabarail iku, pacak wesi tangepannya, gantya tanggal ping sakawan samineki, ping sangan ping patbelas.


– 19 –

Ping sangalas patlikur myang kaping, sangalikur punika ingetang, wit Hyang Surya purnamane, epot pecak salikur, Yusup pacakwesi marengi, awit salikur pecak, sawelas potipun, Ngijrail salamet pecak, sawlas epot bedhug Ahmade rejeki, wit bedhug epot Asar.


– 20 –

jabarail pitutur ngrangkepi, Asar prapta purnamaning surya, Ibrahim kalangan mangke, ping gangsal sadaseku, gangsal welas myang kalihdesi, salawe tigang dasa, pan sami puniku, awit purnamaning surya, tekeng pecak salikur epotireki, Ngijrail akalangan.


– 21 –

Pecak slikur sawelas potneki, Ahmad pacakwesi rangkepannya, pecak sawelas awite, epote tekeng bedhug, jabarail slamet ngrangkepi, bedhug epotnya Asar, Brahim rijekiku, Asar sadalau epotnya, purnamane Sanghyang Surya amungkasi, Yusup pitutur Ahmad.

» ) Prayoginipun dening
» *) Prayoginipun dwiwias


– 22 –

Raden Jayengresmi tanya malih, kadiparan sangat palintangan, punapi wonten sanese, ki Buyut manthuk-manthuk, manut dinten lampahireki, pipitu kehing lintang, sadinten sadalu, paedahe pyambak-pyambak, awon penet myang laire jabang bayi, tinitik saking lintang.


– 23 –

Lintang Samsu sabarang prayogi, lawan marek ing sri naranata, myang wong agung sasamine, ningkah langkun panuju, ingkang awon tuwin myang sakit, nunugel kesah perang, jejampi nyanyambut, tuwin ngenggali pangganggya, undang-undang prasanakan atanapi, kumpulan tan prayoga.


– 24 –

Lare lair rainten marengi, jales estri umuripun panjang, sinung padhang ing driyane, kedhik rijekinipun, prihatinan ing tyasireki, jalu estri yen medal, dalu watekipun, pan ugi petengan manah, lawan sinung gelap tyase anawengi, gantya kang winursita.


– 25 –

Lintang Juhrah angka dwi nameki, samukawis punika prayoga, dinen ngelmi utamane, rabi tumekeng sarju, anjampeni rare utami, anggalih samubarang, pandamelan atutde, kang awon andum karya, akengkenan dhumateng mengsahing jurit, myang kengkenan sadhengah.


– 26 –

Lare lair jalu lawan estri, ing raina jembar kang polatan, jalu estri yen laire, anuju wanci dalu, langkung kumet wicaraneki, tur pengkok nora (ng)gragap, kaping tri winuwus, lintang Ngatarit pinajar, samubarang prayoga ingkang upami, mumuruk amamarah.


– 27 –

Marek nata myang pados usadi, apan sami prayoga sadaya, dene ingkang boten sae, paes pasah cucukur, lair rinten bilih pawestri, sae keh daulatnya, nging wicara kaduk, ragi panasten ing manah, namun saged ing damel tan nguciwani, yen jaler lair siyang.


– 28 –

Apan awon ing tyas gung prihatin, bilih estri dalu lairira, cupet kang budi wateke, yen jalu lari dalu, watekipun jembar kang budi, sabar lila ing donya, tur sudih begja gung, welasan marang sasama, mangkya catur lintang Kamar kang winarni, samukawis prayoga.


– 29 –

Tuwin marek ing sri narapati, angandikan kang mawa paedah, sisimpen tulus arjane, adagang antuk untung, akengkenan sarju katampi, mamaris tulus trimah, kang awon winuwus, pradata padu myang nglamar, atanapi (n)dhaupaken laki-rabi, punika tan prayoga.


– 30 –

Lare estri lair amarengi, nuju siyang boros watekira, yen jalu siyang laire, cuparira kalangkung, lamun estri lairnya ratri, sae saged ing karya, bekti marang kakung, nastiti mring samubarang, lamun jaler lairipun wektu ratri, barancah mring wanodya.


– 31 –

Panca lintang Juhkal kang winarni, ingkang sae wiwit gentur tapa, pandamel mring Pangerane, awit ngantos pakantuk, lyan punika boten prayoga, yen rare lair siyang, atanapi dalu, jalu estri ugi samya, tansah kambah sakit encok tan kalirih, nanging keh rejekinya.


– 32 –

Tur asabar lila ing donyaki, wadanane mung radi engetan, gumantya angka neneme, lintang Mustrai iku, ratuning kang lintang sapteki, langkung sae sabarang, satingkah rahayu, ingkang awong mung sajuga, amanggalih ngadoni lapahing jurit, yen rare lair siyang.


– 33 –

Jalu estri pan sami prayoga, watekipun saestu sukuran, yen estri lair dalune, ajrih mring piyanipun, pandamelan agal myang remit, widada awidagda, lamun rare jalu, lair dalu langkung pradhah, tan kaconggah nedha ing kebon ananging, remen nyilib tyasira.


– 34 –

Mangkya gantya kasapta mungkasi, lintang Mirah ingkan aprayoga, namping imba paras paes, sunat ugi pakantuk, atanapi ngadoni jurit, lawan iyasa gaman, kajawi puniku, pakaryan awon sadaya, lamun nuju rinten rare lair estri, watak jail kang manah.


– 35 –

Bilih jalu rinten lairneki, tan saranta barang watekira, yen lair nuju ratrine, estri tanapi jalu, tan salamet manahnya gingsir, keket kapara ngarsa, jail amathangkul, sampun jangkep lintang sapta, awon penet ing mangke wiwit winilis, lampahing pilantangan.


– 36 –

Malem akad ing wanci Mahribi, ingkang tampi Samsu taranggana, Ngisal Juhrah tampine, wanci sirep janmeku, lintang Tarit ingkang atampi, tengahe ratri Kamar, lingsir wenginipun, tinampenan lintang Juhkal, bangun enjing lintang Mustari kang tampi, Subuh Mirah gumantya.


– 37 –

Akad enjing Samsu kang nampeni, rame pasar tinampen ing Juhrah, lebar pasar Tangarite, bedhug Kamar kang lungguh, luhur Juhkal ingkang nampeni, Ngasare tinampenan Mustari punika, sontene ingkang atampa, lintang Mirah jangkep saratri saari,lampahing lintang sapta.


– 38 –

Malem Isnen ing waktu Mahribi, ingkang tampi taranggana Kamar, Ngisa-bah Juhkal tampine, ing wanci sirep manus, ingkang tampi lintang Mustari, tengah ratri Mirahnya, lingsir wenginipun, lintang Samsu kang alenggah, bangun enjing lintang Juhrah katan atampi, Subuh Natarit lintang.


– 39 –

Isnen enjing lintan Kamar tampi, rame pasar tinampen ing Juhkal, lebar pasare tinampen, Mustari trengganaku, wanci bedhug Mirah kang tampi, wektu Luhur Samsunya prapteng Ngasar puput, tinampenan lintang Juhrah, wanci sonten Ngatarit ingkang atampi, jangkep lintang kasapta.


– 40 –

Malem slasa ing waktu Mahribi, lintang Mirah seren wektu Ngisa, trengganan Samsu tampine, sirep janma kang lungguh, lintang Juhrah tengahing ratri, Ngatarit ingkang lenggah, lingsir wenginipun, tinampen ing lintang Kamar, bangun enjing lingant Juhkal kang nampeni, Subuh lintang Mustarnya.


– 41 –

Slasa enjang Mirah ingkang tampi, rame pasar Samsu ingkang lenggah, bar psar Juhrah tampine, bedhug tinampen gupuh ing Ngatarit Luhur tinampi, Kamar kang tarangganan, Ngasri Juhkal lungguh, sontene tinampenan, taranggono Mustari pot wektu Mahrib, jangkep kasapta lintang.


– 42 –

Malem Rebo ing waktu Mahribi, lintang Ngatarit pot wektu Ngisa, tinampen Kamar lintange, wanci sirep jalmeku, lintang Juhkal ingkang nampeni, tengah ratri tranggana, Mustari kang lungguh, lingsir dalu tinampenan, lintang Mirah bangun sampun kang nampeni, ing wektu Subuh Juhrah.


– 43 –

Rebo enjing Ngatarit kang tampi, rame pasar tinampen ing Kamar, bar pasar Juhkal tampine, bedhug nulya sinambut, ing Mustari Luhur tinampi, lintang Mirah punika, wektu Ngasaripun, trenggana Samsu lenggah, wanci sonten ing Juhrah kang nampeni, jangkep lintang kasapta.


– 44 –

Malem Kemis ing wektu Mahribi, taranggana Mustari praptanya, Ngisa tinampenan Mireh, sirep ing janma Samsu, tengah ratri ingkang nampeni, kanang tranggana Juhrah, seren lingsir dalu, tinampen Ngatarit lintang, bangun enjing lintang Kamar ingkang tampi, ing wektu Subuh Juhkal.


– 45 –

Kemis enjing Mustari kang tampi, rame pasar lintang Mirah lenggah, bar pasar Samsu tampine, Ngatarit inggkan lenggah, seren Ngasri wektu, tinampenan lintang Kamar, wanci sonten lintang Juhkal ingkang tampi, jangkep kasapta lintang.


– 46 –

Malem Jumngah ing wektu Mahribi, lintang Juhrah ingkang apilenggah, ing waktu Ngisa epote, tinampen Nataritu, sirep janma Kamar nampeni, tengah ratrinya Juhkal, lingsir ratrinipun, lintang Mustari punika, bangun enjing lintang Mirah kang nampeni, Subuh Samsu tranggana.


– 47 –

Jumngah enjing Juhrah tampi, rame pasar Ngatarit kang lenggah, lebar pasar Kamar Manggen, bedhug ginantyan gupuh, lingan Juhkal ingkang nyiteni, Luhur gya tinampenan Mustari sitengsu, wektu Ngasri tinamenan, lintang Mirah sontene Samsu kang tampi, jangkep lintang kasapta.


– 48 –

Malem Saptu Mahribi Ngatarit, wektu Ngisa tinampen ing Kamar, sirep janma gya tinampen, lintang Juhkal potipun, tengah ratri ingkang nampeni, Mustari taranggana, epot lingsir dalu, tinampen Mirah Tranggana, bangun enjing lintang Samsu kan nampeni, Subuh pan lintan Juhrah.


– 49 –

Saptu enjing lintang Juhkal tampi, rame pasar Mustari kang lenggah, lebar pasar lintan Mirah, bedhug tinampen Samsu, wektu luhur Juhrah nampeni, pot Ngasri tinampenan, Ngatarit sitengsu, sontene tinampen Kamar, titi sampung lampahing lintang saptari, dalu praptaning siyang.


– 50 –

Kang minangka naasing lintang dwi, (ng)gih punika Mirah lawan Juhkal, ngagesang winenangake, setiyar mrih rahayu, yen wus atut eanganeki, gya sumendhe ing Susksma, widadaning kayun, amung, amung aywa kinekahan, pepetangan tan saged ngewahken takdir, siningkura kainan.


– 51 –

Kaol saking pawon mitra mami, brahmanandi ing Ngata-maruta, tiyang badhe gadhah rate, utawi jama ayun, prapteng janji ing wancineki, laire kanang jabang, pecate nyaweku, wawaton ari sapta, siayan dalu punika sami binagi, kalih welas gathita.


– 52 –

Wiwit purnamaning Sanghyang Rawi, gathita nem sapta astha nawa, sadasa sawlas tengange, kalihwlas inggih bedhug, gya gathita satunggil kalih, tiga sakawan gangsal, wangsul nenem surup, lajeng etang kadi siyang, dados namung wonten kalih welas wanci, kalamun ari Akad.


– 53 –

Gathita nem sapta sawlas tuwin, tabul satunggal kalawan gangsal, Senen astha sadasane, satunggal tripanceku, Slasa sapta sadasa tuwin, tenggane kalihwelas, kalih gangsalipun, Rebo sapta nawa sawlas, kalih catur Kemis astha sawlas tuwin satunggal tri sakawan.


– 54 –

Jumhan astha sadasa tanapi, kalih welas tiga myang sakawan. Saptu sapta myang nawane, dwidwlas kalih catur, bilih wonten tiyang nyakiti, utawi tyang sakarat, ri Akad tartamtu, lair utawi papatya, gathita nem sapta sawelas satunggil, gangsal salah satunggal.


– 55 –

Raden Jeyengresmi matur aris, kathah temen ing parincenira, mrih widada rahajane, utami dipun enut, tan kainan basanireki, wonten kaol mupakat, punapa saestu, yen badhe karya pemahan, tuwin griya saka usuk denukuri, penet awoning petang.


– 56 –

Leres wonten manawi akardi, ing pamahan dipun estokena, yen (ng)garap pater sitine, cengkali dhepanipun, inggih ingkang adarbe panti, kalamun awiwita, ler kilen mangidul, winicala saking dhepa, wilangannya bumi karta kala kali, kaarah dhawah karta.


– 57 –

Yen mangetan kadhawahna bumi, bilih damel ingkang bubutulan, ambeneraken kalane, myang wiyar ciyutipun, ing pamahan sukaning galih, dene jroning plataran, yen mangaleripun, anotog pager ukurnya, samurdane kang darbe wisma pribadi, tingkahe wismanira.


– 58 –

Den agathuk pager aja lali, yen kekelir sakilening wisma, kang tengen iku lakune, teka ing wismanipun, gathukena ing pager (n)jawi, kang wetan bau kiwa, saking wismanipun, den-gathuk lan wismanira, lolongkange pandhapa, tepusen aglis, lawan pacakanira.


– 59 –

Gedhuging wisma lawan pandhapa, mandhapa iku kalawan lodra, tepusing talapakane, kalih mandhapanipun, lawan lodra yen karya kori, pager tarab cengkalnya, mara-sanganipun, poma sampun asembrana, ing pitedah prayogi aywa kawuri, yen pareng begjanira.


PUPUH XXXVI

PANGKUR


– 01 –

Punika yen karya griya, ukuripun pecakira pribadi, pinecakan panjangipun, gansal petanganira, esri adi naga emas perak lamun, griya kadhawahna emas, pandhapa perak prayogi.


– 02 –

Bilih pawon dhawah naga, payon lesung prayogi dhawah adi, manawi iyasa lumbung, dhawah esri pecaknya, sampun jangkep menggah saka kang denukur, kajawi tangkping ngandhap, lan kajawi purusneki.


– 03 –

Ngukur wiyare kang saka,lajeng kangge ngukur panjangireki, ugi gansal petanipun, bumi banyu prawata myang sangkala geni jangkep gasalipun, dhawah bumi kang prayoga, teteg watekipun bumi.


– 04 –

Dhawah banyu watekira, apan srepan punika (ng)gih prayogi manawi dhumawah gunung, watek kerep aliyan, lamun dhwah sengkala awon kalangkung, kang darbe wisma geringan, dhawah geni tan prayogi.


– 05 –

Kabasmaran watakira, mangkya usuk denetang cajah iji, inggih gansal petangipun, esri kakitri gana, kliyu pokan bilih wisma etang usuk, prayoga esri dhawahnya, pandhapi dhawaha kitri.


– 06 –

Kalih punika prayoga, bilih masjid gana ingkang prayogi, sanese masjid puniku, manawi dhawah gana, tamu angker utawi singit kalangkung, kaliyu datan prayoga, geringan kang gadhah panti.


– 07 –

Yen denetang dhawah pokah, tan prayoga kerep nandhang prihatin, kapejaan jumarunuh, sampun jangkep etangnya, dene pager punika ukuranipun, dedege kang darbe wisma, tuwin dhepane pribadi.


– 08 –

Menggah wiyaring pemahan, sakukanya pan boten denwanceni, gangsal wewilanganipun, bebuka esri etang, tapa lungguh sedana pugeranipun, dhawah sri watak serepan, tapa luwe watekneki.


– 09 –

Lungguh teteg watekira, pan sedana sugiyan watekneki, depugeran watekipun, pitados saha kekah, sampun jangkep ing pundi kaparengipun, tebihing (dn)dhapi lan griya, ugi wonten ukurneki.


– 10 –

Pecaking kang gadhah griya, pan sakawan etanganipun nenggih, awit bale etangipun, omah latar pawuhan, dhawah bale punika ingkang pakantuk, dene yen yasa gedhogan, tuwin kandhang kebo sapi.


– 11 –

Palangipun pinecakan, kajawine pepurus ingkan manjing, kiwa miwah tengenipun, sakawan etangannya, candhi karta rogoh sampoyong puniku, ingkang sae dhawah karta, kalayan dhumawah candhi.


– 12 –

Saka kandhang myang gedhogan, kajawine purus myang pendhemneki, ingukur lan palang wau, dhawah candhi prayoga, ing tebihe saking treping pantinipun, ingukur kalawan pecak, gansal petananireki.


– 13 –

Awit etanipun karta, baya tura samaya angemasi, utami ingkang dhumawuh, ing wewilangan karta, nengna wau titi etangnya ki Buyut, wus anggagat bangun enjang, suwawi waktu Subekti*).


– 14 –

Utami kang radi awal, samya wulu paragating Subekti*), pepujinira nutug, bakdaning pepujian, Gathuk matur alim dalem Kyai Byur, kawula nyuwun wasiat, basanipun tiyang abti**).


– 15 –

Nunutut sadhengah kewan, bokmanawi ing tembe ngingah kambing, amrih cumbu dhaten ulun, ki Buyut angandika, iya kacung pancen ana emelipun, datanpa laku tur cendhak, mangkene basanireki.


– 16 –

Seka leka seka leka, singa buntuk idhepa idhep ing idhepku tut sing saujarku, mung iku ora liya, lamun sira kapareng angelus-elus, marang sadhengahin kewan, kang dadi parenging ati.


–17 –

Kalawan manthening sedya, uga cendhak mangkene basaneki, singa wulu singa buntut, ingusapan pandhawa, lelima tut saujarku mung punika, lamun pinareng ing mangsa, bokmnawan tutut yekti.


– 18 –

Gahuk nuwun-nuwun nembah, sakalangkung kapundhi sih sing yogi, Ki Buyut nyawan sang bagus, sumunaring kang cahya, ngandikeng tyas cecalone janma luhung, manther cahyaning oliya, wasana matur sang adi.


– 19 –

Ing mangke paran ing karsa, seu sokur yen jenak aneng ngriki, rahadyan alon umatur, kang agun apuranta, mangkya ulun ayun (m)dumegekken kayun, ing saparan tanpa sedya, ngulati ingkan lunga nis.


– 20 –

Amung pangestu paduka, rahayune ing lampah bokmanawi, tembe ulun saged wangsul, kantuna karaharjan, wus salaman ki Buyut ngandika arum, mas putu nestapaningwang, sami apuji-pinuji.


– 21 –

Wus tumurun sangkin Murya, ngidul ngilen wus ngambah ing pasisir, tan winarna lampahipun, prapta ing palabuhan Pakalongan kendel ing tepining laut, anom udhuning juragan, kang sangking liyan nagari.


– 22 –

Menawi ari kalihnya, binekta ing nangkoda, sangking Gresik nunut utawi pinupu, mring pawong-sanakira, dupi mudhun juragan kang sangking laut, tinon kang rayi tan ana, sangsaya angles ing galih.


– 23 –

Aduh yayi kadangingwang, Jayengsari myang Niken Rancangkapti, baya mring endi jantungku, amung ta karuhana, ing dunungmu awet mangkene kabanjur, kadya kinjeng tanpa soca, wau Radyan Jayengresmi.


– 24 –

(n)Dedonga marang Pangeran, rahayune kadangira kekalih, tembe sageda pinangguh, atuse manthenging tyas, gya lumampah tambuh kang sindyeng kalbu, kendelnya dalu kewala, bada Subuh gya lumaris.


– 25 –

Prapti ardi Panegaran, kacarita sang yogi kang palinggih, aneng Panegaran gunung, wasi kawisuwara, wakitheng tyas uning satriya anglangut, kendel ing ngandhaping arga, sang wasi utusan aglis.


–26 –

Sabatnya aran Waskitha, kinen mudhun marang ngandhapping wukir, ki Waskitha wus tumurun, pinanggih lan rahdyan, mangenjali matur kawula ingutus, mahawiku Panegaran, Kawiswara sang ayogi.


– 27 –

(n)Jeng paduka ingaturan, minggah maring ing dhepok ulunirit, rahadyan ngandika arum, inggih paman prayoga, sampun kerit Gathak Gathuk tansen pungkur, sang wiku mapag wiwara, wus tundhuk rinangkul aglis.


– 28 –

Kulup ingkang nembe prapta, sajarwaa kekasihira kaki, lawan ngendi pinangkamu, sayogene lereppa, aneng kene kurang nadhah kurang turu, darapon bisaa klakyan, kang dadi karsanta kaki.


– 29 –

Rahadyan dahat lenggana, wus alami pruita ing sang yogi, tatakrabatanya lumintu, sang yogi Kawiswara, lon ngandika ana jiliddan linuhung, sayogya sira anggoa, kanthining janma utami.

» )Prayoginipun Subekti = Subuh
» *) Prayoginipun apti = arep, karep


PUPUH XXXVII

KINANTHI


– 01 –

Minangka murda satuhu, tanpa angenaki ati, tama liriing panataran, rantara sesalwirning, sarehning ingkang dumadya, wlasa singa nuwa-nuwi.


– 02 –

Sreda purai ngasamun, samanning sila nagari, aminta sihing ngamarar, awlas asih ring pagimi, unggyannira ngamatirta, cipta mantep marang Widdhi.


– 03 –

Durung dadi lamun durung, darana ring daruning, sakarsa karseng pamasa, satibane kang tinuding, beda pandumming budaya, dayaning (n)donning dumadi.


– 04 –

Kahenengena manengkung, amaladdi samadinning, anegessa karsanging Sang, Amurweng Paningal jati, tingalena maklamullah, malah maluya ywa lali.


– 05 –

Lelakone kang kaluhun, alin-alin denkalilin, lelenga aywa kaalan, ywa lalu atmah lali, kalunta-lunta kalintang, tan wiyang mayanga westhi.


– 06 –

Isthaning anga kagugu, gupita jeg agagappi, aywa gugup ing nalika, nalarrira den alirih, rereh ing pangarah-arah, arahen aywa ngurangi.


– 07 –

Nguranggana ing pangrungu, ing reh aywa nguring-uring, yen miro tmah memirang, amerang amurang niti, titika denkatalika, ywa nunulak tutulan-cik.


– 08 –

Becik rengkuhen pamengku, kumawa ing agal alit, den amulat ing leleta, ywan ingandel dendumeling, (n)dulu ulah karawitan, wittipun tan ana malih.


– 09 –

Sangking kakawin myang kidung, kadi kadang anjarwani, ing sarekaning kalangyan, langening kang milangonni, nglonggana haywan tantara, tariken yen ana luwih.


– 10 –

Miwah ungguhing raras-rum, rumarah murang ing kawi, sesandinig sang kendriya, rekaning kawi kawiddhi, kawiddhi ing widhayaka, ya karana sang siniwi.


– 11 –

Wah tahet babah binarung, ring kasidaning dumadi, dana kariyin denarah, kasantikan wus kawuri, kasudarman tyas mardawa, den manuh manah mamanis.


– 12 –

Manah prenessan ywa kunus, dennira amasang mesi, masalahing sumpet karsa, karsa sineser tan osik, mustika tinon aywa sak, sasat simpen karsa suji.


– 13 –

Ring sojar aja anjujur, kolina kilat ngalingi, tan wring naya ringa mawas, wakitha awangsulanning, yen tan angling den amemma, den amemes ing pangungkih.


– 14 –

Ywa taha berguguk lugu, kaya gopala kapilis, kapelang kapelak-pelak, palenggahe agaligir, wigar agalagar, nganggur tan egaring galih.


– 15 –

Palaning wong ambasengut, ulatte anginggit-inggit, wacana butheking netya, netya ala tan kailir, kelu kalessan ng muka, mengku ala nir pokalih.


– 16 –

Ing wacana yen anuju, pasamuwan srawunganning, dipun sambada ing tembang, manawa katambang balik, denkacakup ing pangucap, titika dipun katitik.


– 17 –

Patitike ywan wus putus, pan wus cinariteng Sruti, sru trep tita ing purwaka, mangka kenging anganggepi, ing cipta ya dyan patutta, ing tembang sambang manawi.


– 18 –

Ana wadi kang sinamun, sinuksa sari-sarining, buhana sabawaning tyas, lair ing tyas kang nampani, nyataning tyas aneng naya, naya netya kang nampani.


– 19 –

Sawadining wardayeku, ing netya pahemanneki, ing wacana (ng)gonning wedhar, sidayaka dayeng wadi, widigda ing ciptamaya, mayana mayaning kapti.


– 20 –

Ati akapti kumudu, asihana ing sesami, witting raga kanasiyan, pan sangking raga pribadi, pribadi asiyeng raga, kadulu dalan dinalit.


– 21 –

Paesan ing sarireku, amberat ingkang kaeksi, nir tasitaning akathah, pangehna ing sarireki, sarira paran bedanya, ambawa ambawani.


– 22 –

Ingkang kadi mangkoneku, endi ulun amurwani, ing paniwi wamangkana, ana pae nupa bumi, dera ngimpun prih sadaya, pan wus jenengin narpati.


– 23 –

Kinasihan ing reh aru, saharja mangakumeki, amiluta ambek ing ngrat, rat karaktettan padha sih, linulut ing lokajana, jeneng kasarjana sami.


– 24 –

Sarat rinaharjeng kayun, mawarah-warah reh aris, tanpa karsa pagehana, kengang murwa angarjani, klitir marang apapa, papa telutuh siningkir.


– 25 –

Mikara kang sikara dur, nimitnya-mitya sajati, juti sajatining mita, siyasat lir sagaragni, genengan kathah isininya, sarira tanpa welang ngling.


– 26 –

Sesumbanging ngrat kasumbung, sesining tapa ing bumi, bumi saja saha jarwa, sojar tekanang binukti, bremara ngusweng kusuma, sumarmaning ganda sari.


– 27 –

Salwir bawaning kang sinung, ing wadi widagdeng kuwi, among jagad jaga-jaga, arjuning ngrat tan kaesthi, saesthining asthagina, ginulang-gulang ing pangling.


– 28 –

Liniling-liling kalangkung, sinelan planu pinalin, sarasa-rasa rinangsang, kang saru-saru siningkir, sikara tan karawatan, kuwat awetta rangkawit.


– 29 –

Wiwitting watara wolu, waluyane wali-wali, wulang lila lan wilalat, ywan linelet temah lali, lalu amilih turida, ruda ruah angrudatin.


– 30 –

Rudating angayun-ayun, wahyu-wahyaning sakalir, kaliliran kalairran, lairing wahyu-winaris, waras ngeniraken maras, marassaken jiwaragi.


– 31 –

Noraga tegeng anurut, anurut rat pinirit, mirit angipat kiparat, puret pepet tan pinipil, papalla sangking sikara, sukura suker singkinkir.


– 32 –

Kertya pakarti katutur, titir pamantara titi, tatas pandining walgita, tan pegat amagut kapti, kaptine ingkang kampita, pitaya den pitayani.


– 33 –

Yen ing tyas pan aywa tambuh, bubuhanne wong ngaurip, angarep-areppa karya, karyane sawiji-wiji, wijining puruitaa, ya asthaguna kinawi.


– 34 –

Kawining Hyang Endra laku, ngudannaken wangi-wangi, angresepi sabuwana, kawaratan ing mamanis, menuhi manah madada, moneng manengku ngenani.


–35 –

Kawining Hyang Yama laku, madhendhakrama tan yukti, ya maluma lwir ya pejah, durjana gelahing bumi, nadyan braya wani ngambah, binubuh pinrih ing pati.


– 36 –

Kawining Hyang Surya laku, ngingsep toya tan katawis, rereh ririh tan rekasa, rasanne tan ngeressi, resik lumintu atata, santyasa ngatiyati.


– 37 –

Kawining Hyang Candra laku, ngasuk ngasepi sang bumi, komala mredu katingal, guya-gutunya mamanis, lir tetessing martotama, resep marang para resi.


– 38 –

Kawining Hyang Bayu laku, anginte sagun pakarti, cuddining rat kinawruhan, sawicara denkawruhi,ya dibya guna kagunan, dinunni saari-ari.


– 39 –

Kawining Kuwera laku, anginte sagung pakarti, buddining rat kinawruhan, sawicara denkawruhi, ya dibya guna kagunan, ginunni saari-ari.


– 40 –

Kawining Baruna laku, ngagem sanjata ngapussi, sagung kang olah durjana, jinajahan sinalisik, sinalasah cinepengan, amempeng dennya ninitik.


– 41 –

Kawining Hyang Brama laku, anggesengi ripu tapis, galak ring ripu lwir singa, kang kinangsah sirna gusis, murub warata kataman, tamannira aneng geni.


– 42 –

Nahan ta guna ginunggung, suraku rumekseng bumi, bumi ginora warana, lana gineneng pinusthi, sesthaning butaning ngolah, ulah sesran musran muni.


– 43 –

Aywa neher ing paniru, angalappa saraganing, Sruti titikanning kangap, kadhapping kilap ngulati, Islam mapan janma tama, kang kapir prandening sesthi.


– 44 –

Asthabrata kang linaku, kelakon pangolahneki, pundi antuk kalah, lan lakune Buddha nguni, beda budining manungsa, akawih ingkang linewih.


– 45 –

Maluya laya anuntur, linanturaken pakarte, Jayengrana pinandhita, ing palagyan palunggyaning, byuha tarien wekasningka, tapa kaluhuran dadi.


– 46 –

Legaweng pati ring ripu, pratapanning kang prajurit, sor tapaning kang pandhita, tapa tapaking jayanti, antyastya pramukyeng tapa, tapa (ng)graning gunung wesi.


– 47 –

Sinembah ing ngalapa gung, singgih yen sirarsa jurit, den prastawa ing sopana, ing bubuka purba titi, titika denkatalika, tutula tinali-tali.


– 48 –

Agama pan sedya ayu, pagahen padhanging pati, aywa ta kaselan meda, dumadya amangguh westhi, nadyan ana hru sayuta, sedya yu pan denpayungi.


– 49 –

Ing agama payungipun, rineksa tebih ing westhi, dyajan ta anut ancala, bubuka ywa ngaruhunii, ruhanana ywang wus pingsal, asapenet gan yen uwis.


– 50 –

Ana (ng)gyanya tindak-tanduk, ing swara asywa dumeling, aywa liyan kang karengya, munga sang nata pribadi, dennira angadu laga, mawastreng papan makangsi.


– 51 –

Bubuhan kang aneng ngayun, tempuking ayuda pan wis, panarcayan mring sang nata, mangsa kaguha ing jurit, sang nata nata ring wuntat, tan patya keh kang umiring.


– 52 –

Mung kanan kering myang pungkur, sawega prayitneng westhi, manawa na katelayah, raganing turangga mregil, tutulunga teka wangwang, ginantya bala toh pati.


– 53 –

Yeka palayarannipun, ring atapa gunungwesi, tan kacaryan tan kawuryan, ring dadi dadining bumi, sastakasa myang riringa, pan purbawisesa jati.


– 54 –

Tan ana lara myang lampus, urippe sangking Hyang Jati, Karana tan takut ing prang, nistha madya utamaning, mantri lingling kina-kina, kinenan malah ing mangkin.


– 55 –

Nisthaning mantri winuwus, yen kawawas lena dhingin, lena kari wadyanira, madyaning mantri yen mati, bareng lawan wadyanira, utamanireng kang mantri.


– 56 –

Yen ing bala ngarsa gempur, tulung ngadegken jemparing, mangsa mangke dadya warta, yen amungun jareng jurit, nistha madya utamanta, mantri ngmasi rumiyin.


– 57 –

Ing lelakonne keh kantun, kaputungan tyas kang nulis, sepi supene kang bawat, tumanduk lamun udani, telasana sanggamu, ywa, dening tanduk tan nindaki.


– 58 –

Lwir tarbuka rupanipun, cundhining rat anjajagi, tan mangra mantreng sarira, purwaning amenggel kawi, kinayah kayuh bawamba, abuning rat ing saricik.


– 59 –

Ing angga akarem liwung, ing pangiwa angenani, tulaten namung pinampar, tan wrin cacden ing sami, sanepaning pasang sewa, sinawwa tan suwawi.


– 60 –

Wiyangga wuyungan kalbu, buhana tandha saben ri, rumaras ywan tan mangguha, uguhing kidung tinampi, nampingana mangka dadya, dadya dawaning murwani.


– 61 –

Nimpeni dadi sinamun, namun dana tanpa mijil, pinunjal tinujel suka, suka ringa manggel kawi, kawisesa budyadarma malangun dadine bumi.


PUPUH XXXVIII

ASMARADANA


– 01 –

Rahadyan sanget gung kingkin, miyarsa andikanira, wasi kawiswara kaot, wus lami neng Panegaran, ngentek piwulangira, dhasar lantip sang abagus, sakep atampi piwulang.


– 02 –

Saya tebih dhabar guling, Gathak Gathuk eca ing tyas, Kawiswara ngandika lon, kulup ywa dadya tyasira, ingsun tan pisan-pisan, risi kanggenan sireku, amung supaya wuwuha.


– 03 –

Kawruh utamining urip, tumekane ing delahan, angidulla bener angger, marang ing Salamet arga, kono ana satriya, atmaja sri Majalangu, nama Seh Sekardelima.


– 04 –

Dhepok ing Salamet wukir, wus manjing agama Islam, Sunan Tembayat gurune, sinepuhan Jeng Suhunan, Adi ing Kalijaga, aran wong bisa ketemu, yen datan lawan nugraha.


– 05 –

Mangkata sedheng kang wanci, rahadyan angaras pada, saha aturira alon, muhung pangestu paduka, kawula darma lumampah sangking pituduh, tuhu tan darbe kuwasa.


– 06 –

Wau mesem sang maharsi, kulup ing pangestuningwang, Gathak Gathuk awotsinom, kawula anyuwun barkah, pinaringana kuwat, (n)dherekken wayah pukulun, angsala idin pandonga.


– 07 –

Iya kenang sun ideni, muga kinuwatna ing Hyang, rahadyan sampun lumengser, linggar sangking Panegaran, lajeng ing lapahira, Gathak Gahtuk tanseng pungkur, wus ngancik sukuning arga.


– 08 –

Sumawuring sari-sari, ganda arum amrik ngambar, gantya ingkang winiraos, ing dhepok Salamet arga, masjid munggul katingal, asri busananing gunung, taru-tarunya tinata.


– 09 –

Sasekaran angubengi, toya wening tinalangan, pating sareweh iline, mangungkan talaga dibya, ngunguwung lirab-lirab, wau panembahan gunung, lenggah tepining talaga.


– 10 –

Ingadhep abdi kakalih, Ki Maklum lawan Ki Sabar, eh Sekar ngandika alon, Sabar Maklum den agepah, ing langgar resikana, bakal ana tamu, utama calon olia.


– 11 –

Sabar Maklum mundur aglis, ing langgar wus ginelaran, Seh Sekar gya kondur alon, ngalela lenggah ing langgar, rahadyan wus katingal, ingawe sang wiku gupuh, radyan anungkemi pada.


– 12 –

Pinangkul keinempit-kempit, arum wijiling kang sabda, slamet satekamu raden, mrelokken mring dhepokingwang, banget sukaning driya, radyan nembah saha matur, pangestu dalem kang mulya.


– 13 –

Seh Sekar ngandika malih, kulup kywa sadaya-daya, ing pangarah dipun sareh, mung ywa pegat ing paminta, lumintu ingkang lampah, yen pinareng wektunipun, bokmanawa katarima.


– 14 –

Suhunan ing Bayat nguni, sung carita marang ingwang, eyangmu buyut kalane, kumpulan lan wali sanga, samya (m)babar sesotya, trusing ngaji pan akumpul. aywa ana parebutan.


– 15 –

Kinarya gita ing kawi, ing Giri Gajah enggone, tatkala aguguneman, para wali sasanga, ing Argapura (ng)gennipun kadhaton ratu agama.


– 16 –

Wali sadaya tinari, dennira Prabu Sarmata*), Suhunan Benang tinaros, myang Suhunan Kalijaga, Suhunan Ngampeldenta, Suhunan Kudus tinantun, kalawan Seh Siti Jenar.


– 17 –

Seh Benthong rumut tinari, sarta pangeran Palembang, Panembahan Madurane, aseba mring Giri Liman, angling Prabu Satmata, sukur pepeg anakingsun, sami limuta kaliman.


– 18 –

Sadaya tunggala kapti, sampun wonten kang sulaya, arempega kang wiraos, sami ababar sosotya, sami miyak warana, sampun wongen masang semu, den anglela den tetela.


– 19 –


– 20 –

Jeng Suhunan adiluwih, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, iya sadar jenengamba, iya jenging purab, iya Alah Sukma Subur, jeneng urip lawan jagad.


– 21 –

Jeng suhunan Giri-westhi, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, imam urip lan nugraha, budi uriping Suksma, urip sara Allah iku, mangkana ing kawruhamba.


– 22 –

Jeng Suhunan Kudus angling, ambabar kang pangawikan, Roh wajib ing imaningong, cahya mancur kadi surya, mijil sangking prabawa, amartani lapahipun, anguripi ing sajagad.


– 23 –

Penembahan Madura ngling, ambabar kang pangawikan, aran kanugrahane, kundhi Allah ta punika, tegese kundhi ika, nabi Allah jatinipun, jinaten ing nama Allah


– 24 –

Pangeran Palembang angling, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, tegese Allah punika, Allah ingkang amurba, angurip Mahaluhur, amisesa purba dhawak.


– 25 –

Prabu Satmata mangkya ngling, ambabar kang pangawikan, sami lan Allah purbane, kang ngawruhi iya Allah, kaping kalih nur badan, kaping tiga rasul iku, kaping pat Datollah ika.


– 26 –

Seh Siti Jenar mangkya ngling, ababar kang pangawikan, asembah ing Allah ingong, sujud rukuk padha Allah, sembah sinembah Allah, ingsun kang amurba iku, kang misesa ingsun uga.


– 27 –

Wali sadaya mangkya ngling, Siti Jenar Kadariyah, katerasan iku linge, Siti Jenar sigra ngucap, adoha yen benera, ingkang perak iku embuh, iku Allah supayaa.


– 28 –

Prabu Satmata mangkya ngling, iku jisin Siti Jenar, Seh Lemah Bang mangkya linge, raga jiwa den micara, padesane dentilar, Allah kang anglela iku, sakarsanipun wisesa.


– 29 –

Wali sadaya samya ngling, salah sira Siti Jenar, dene angaku badanne Allah badan Siti Jenar, tan langgeng aneng dunya, Siti Jenar iku luput, tembe mangke ngaku Suksma.


– 30 –

Pan wonten lakone nguni, sami ambabar sosotya, sampun aling-aling kang wong, sami amiyak warana, aja na salah cipta, kene yen warahen dudu, anging panggah Siti Jenar.


– 31 –

Prabu Satmata mangkya ngling, Seh Lemah Bang kamanungsan, sanak pakenira kabeh, tan beda lan pakenira, nanging sampun anglela, manawi dudi klurung, akeh wong kang anggegampang.


– 32 –

Kathah wong kang tanpa yekti, tanpa yun angguguruwa, akeh kang (ng)gegampang kang wong, dene warta atimbalan, sajatinipun wikan, dadi tan arsa (ng)guguru, awirang yen ta takona.


– 33 –

Seh Molana samya prapti, sakathahe Aji Cempa, pinereg ing masjid gedhe, mapan kantun wali sapta, samya (m)babar sosotya, tan prabeda kang rumuhun, Siti Jenar ingandikan.


– 34 –

Seh Molana mangkya angling, Siti Jenar nama tuwan, Siti Jenar mangkya turre, ingih Allah jenengamba, nora na Allah ika, anging siti Jenar iku, sirna Jenar Allah ana.


– 35 –

Molana Ngaribbi*) angling, kapkir dadi Siti Jenar, Aji Cempa angling alon, kapir dana Siti Jenar, Islamipun indalah, kapir danas wong puniku, punika kapir sampurna.


– 36 –

Molana Mahribi angling, suhunan (n)daweg winejang, masjid dalem suwung kabeh, ana bekti ana ora, temah ngrusak agama, aggegampang temahipun, kang salah (n)daweg pinedhang.


– 37 –

Seh Siti Jenar mangkya ngling, (n)daweg sampun kalayatan, lawan swarga menga kabeh, Siti Jenar sinerampat, dening kaum sakawan, Seh Lemah Bang sampun khukhum**), pinedhang tatas kang jangga.


– 38 –

Titiga sabate sami, apan sedya pinejahan, samya prawira Khukhum**)e, titiga samya anedya, anebut Subkhanallah, wonten rare angon wedhus, sigra amiyarsa warta.


– 39 –

Siti Jenar wani mati, kasusra angaku Allah, punang rare angon age, lumayu asumbar-sumbar, amareg mring ngayunan wonten Allah kari iku, katungkul ya angon menda.


– 40 –

Prabu Satmata mangkya ngling, rare iku kudu pejah, khukhum**)ena aja suwe, sandhingena Siti Jenar, angling Ki Siti Jenar, sandhingena lawan ingsun, aywa adoh ingsun gawa.


– 41 –

Ponan rare angling aris, sampun (n)dika kalayatan, rare cilik sru tangise, age tumuta pralaya, wus menga lawang swarga, pinedhang janggane sampun, mesem rare angen menda.


– 42 –

Jeng Suhunan Ratu Giri, nora kira Siti Jenar, maksih wutuh reragane, tigang dina gilang-gilang, tumulya uluk salam, kantuna andika ratu, Siti Jenar nulya ilang.


– 43 –

Tan kari sabatireki, sadaya wus samya ilang, miwah rare angon mangke, datan kantun melu ilang, sadaya sampun sirna, gawok sakeh kang andulu, dhumateng Seh Siti Jenar.


– 44 –

Tuturku kang wus kawijil, Seh Lemah Bang wus anyata, katon kandel kumandele, nanging pilih kang abisa, kadi Seh Siti Jenar, akeh mandheg aneng catur, pinentog mundur plarasan.

» ) Ugi kasebut Prabu Setmata

*) Prayoginipun Mahribi

**) Prayoginipun khukum=kaukum


PUPUH XXXIX

D U R M A


– 01 –

Lawan malih raden sira kawruhana, pan ana kawruh malih, crita Wringin-sungsang, wajibe kawruhana, anggiten dipun sayekti, sajroning mana, lan angger ngong jarwani.


– 02 –

Wringin-sungsang wayahira tumaruna, luhur tan ngawruhi, panjere satunggal, tambenipun sekawan, pupusipun mung sawiji, pange sakawan, wohe retno-di luwih


– 03 –

Kulitira kang wringin kancana mulya, daging kumala adi, otote sosotya, babalunge kalpika, sungsume motyara luwih, uwiting wreksa, iman wujud kang pasthi.


– 04 –

Lan malihe kaki tengah kawruhana, lalima kathahneki, ingkang aneng tengah, aran peksi-dewata, anadene kang angapit, peksi sakawan, iku wajib ngawruhi.


– 05 –

Poma-poma angger sira kawruhana, apa asalmu dhingin, iku kawruhana, asal sangking punapa, miwah benjing lamun mati, endi (ng)gonnira, lawan marganing pati.


– 06 –

Lamun malihe raden sira kawruhana, wastane kang waringin, lan pancere pisan, lawan tambining ngepang, pupuse lang wohe ugi, apa arannya, wajib sira kawruhi.


– 07 –

Lamun mati kang nyawa ngendi marganya, apa ta metu kuping, apan suker ika, apa ta metu netra, iku pasthi moler kaki, yen metu sirah, pasthi pecah kang reksi.


– 08 –

Lamun metu ing embun-embunan radyan, kang pasthi bolong kaki, lamun metu grana, yektine jember uga, lamun metu cangkem najis, lan ngendi baya, margane lamun mati.


– 09 –

Lamun metu ing jubur langkung najis ya, yen metu puser ugi, pasti bojot ika, lah ngendi ingkang marga, lamun ing wulu kang margi, lah iku mokal, marga kalangkung rungsit.


– 10 –

Lah ta raden angger sira tetakona, liyane marang mami, kabeh takokena, purwa madya wasana, takokna dipun patitis, asraha badan, ngaturna pati urip.


– 11 –

Lamun mati apa ta ana ngakerat, prenahe kerat ngendi, takokna den angsal, aja angayawara, dipun weruh ing sajati, basa ngakerat, enggon wong agung sisip.


– 12 –

Anadene enggone wong kang sampurna, tan doyan tan ing ngakir, aneng Darussalam, enggon wong agung mulya, iku gurokna sayekti, ing Darussalam, iku suwargi ening.


– 13 –

Tegesipun kang Darussalam punika, wujud mukal kang pasthi, iku gurekena kang aran wujud mukal, yen tan weruha sayekti, angur si kopar, karuwan mati garing.


– 14 –

Lat ta iku raden sira gurokena, lah poma dipun olih, kalamun oleha, ing guru kang wawarah, silema ironing jaladri, upama nira, ywa toleh anak rabi.


– 15 –

Yen pepeka ing wejang guru kang pasal, temahan mati kapir nuli labuhana, sejange gurunira, labuhan kawan prakawis, aywa kawuntar, tapa kawan prakawis.


PUPUH XL

PANGKUR


– 01 –

Dhingin kang ingaran tapa, anarima shing Hyang Suksma jati, apa karsane Hyang Agung, apan anut kewala, anglir sarah aneng satengahing laut, apa karsaning parentah, kawula teka nglakoni.


– 02 –

Ping pindho ingaran tapa, geniara iku dipun lakoni, anadene artinipun, malebu ing dahana, yen kabrangas ing ujar iku den teguh, yen denucap ing tetangga, mapan tan nedya gumingsir.


– 03 –

Kaping tiga banyuara, tegesipun punika tapa ngeli, mapan anut ing pitutur, rembuge pawon sanak, lan nasabi ing wong kawiranganipun, iku laku kang utama, wong awas ing Suksma jati.


– 04 –

Kalawan kaping patira, tapa ngluwat amendhem jroning siti, iya iku tegesipun, aja ngatokken uga, ing becike awake dhewe puniku, miwah lawan lakunira, pendhemen dipun aremi.


– 05 –

Kalamun ta malihira, dipun andhapasor sareh ing budi, den kalah*) ing parapadu, utamakna ing lampah, iya iku wong bekti marang Hyang Agung, iku aranne wong lanang, iya wong menang prang sabil.


– 06 –

Iku ganjarane benjang, cinacadhang manggon ing sawarga-di, ingkang dahat adiluhung, kang aran Darussalam, sarwa muwah adi-adi sakalangkung, pan sampun karsaning Allah, kang duwe wong aprang sabil.


– 07 –

Wong aprang sabil punika nora lawan si kopar lan si kapir, sajroning jajamu iku ana prang Bratayuda, luwih rame ayuda pupuh pinupuh, iya lawan dhewekira iku jatine prang sabil.


– 08 –

Sampune amenang aprang, nuji ngancik ing nagri Maespati, amboyong Kencanawungu, nuli jumeneng nata aparentah**) sakathahe para ratu, datan ana kang amalang supami jumeneng aji.


– 09 –

Iku poma ala poma, aywa mamang manahira sayeksti, poma setyana iku, ujar kang dhingin uga, den prawira anganggit sajroning kalbu, iku laku kang utama, tan ana ingkang nyameni.


– 10 –

Lawan malih atakona, sampurnane ing niyat lawan takbir, miwah sahadat punika, kalawan yen sakarat, poma raden punika tan dipun antuk, lawan sampurnaning pejah, takokna dipun patitis.


– 11 –

Pan lilima kathahira, gurokena iku dipun mangerti, iku sampurnaning kawruh, poma ta dipun angsal, iya iku sira gurokena kulup, yen tan amuruk mangkana, dudu gurumu sayekti.


– 12 –

Yen sira ayun unginga, bumi pitu lah reden sun jarwani, kang dhingi bumi rannipun, ingaran bumi retna, kaping pindho ingarang bumi kalmu, bumi jantung kaping tiga, pan kaping pat bumi budi.


– 13 –

Lawan kaping limanira, ingaran bumi jinem sayekti, lawan kaping nenemipun, ingaran bumi suksma, ping pitune bumi rahsa arannipun, iku wajig kawruhana, tegese sawiji-wiji.


– 14 –

Ingkang aran bumi retna, tegesipun dhadhanira pribadi, bumining manungsa luhung, iku gedhong kang mulaya, ingaran astaning Islam iku, lawan kaping kalihira, bumi kalbu denwastani.


– 15 –

Bumi kabu tegesira, astane ing iman kang sajati, kaping telu bumi jantung, iku ta ingaranan, astane anenggih sakehing kawruh, lan malih kaping patira, ingaran bumi budi.


– 16 –

Bumi budi tegese, astanane ing puji lawan dhikir, lawan kaping pimanipun, bumi jinem tegesnya, ingaran astanane sih satuhu,lawan kaping nemme ika, bumi suksma den arani.


– 17 –

Utawi kang bumi suksma, iya iku astanane ing ngelmi, nenggih kaping pitunipun, ingaran bumi rahsa, bum rahsa apan iya tegesipun, astaning***) ing paningal, asmaradana gumanti.

» ) Prayoginipun den ngalah

**) Prayoginipun amarentah

***) Prayoginipun astanane



PUPUH XLI

ASMARADANA


– 01 –

Raden kawruhana malih, prakara kang langit sapta, ana ing sira dununge, poma-poma dipunpirsa, langit kang ana sira, mara ngong jarwani kulup, den becik pidhangetira.


– 02 –

Dhingin langit roh-jasmani, dene langit ping kalihnya, langit roh-nabadi ranne, roh-napsani kaping tiga, dene langit kaping pat, roh-rokani wastanipun, dene langit kaping lima.


– 03 –

Ingaran roh-nurani, langit kaping nemme ika, roh-rabani ing wastane, langit kaping pitu ika, roh-kapi wastanira, anenggih ing tegesipun, langit roh satunggal-tunggal.


– 04 –

Tegese langit jasmani, tinitahaken ing Allah, amepeki ing uripe, ana ing jasa sadaya, langit roh-nabati ka, amepeki uripipun, salire badan sadaya.


– 05 –

Ingkang langit roh-napsani, amepeki ingkang karsa, karepe badanne kabeh, langit rho-rokani uga, mepeki ngelunira, sakehe badan sadarum, langit roh-nurani ika.


– 06 –

Amepeki cahyaneki, sakehe badan sadaya, langit roh rabani raden, amepeki adhipira, ingkang badan sadaya, lang langir roh-kapi iku, pan pepak pasrahing badan.

SERAT CENTINI

SERAT CENTINI

Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.



Penggubahan

Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.

Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).

Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.

Tujuan dan pelaku penggubahan

Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
Raden Ngabehi Ranggasutrasna
Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
Raden Ngabehi Sastradipura

Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.

Pengerjaan isi

R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.

Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.

Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.

Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.

Ringkasan isi

Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.

Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.



Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.

Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.

Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.

Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.

Lingkup pengaruh

Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.

Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguh ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.

Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.

Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.

Kepustakaan

Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.

Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.

Gubahan kontemporer

Penulisan kembali Centhini dalam bentuk prosa liris dilakukan oleh Elizabeth Inandiak. Bentuk ini dapat dianggap sebagai interpretasi personal karena terdapat perbedaan dengan bentuk kitab aslinya. Sunardian Wirodono mengubah Serat Centhini menjadi trilogi novel dalam bahasa Indonesia (Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin; Centhini, Perjalanan Cinta; dan Cebolang, Petualang Jalang).

Referensi
Sumahatmaka, R.M.A, Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras), PN Balai Pustaka, Cetakan pertama, 1981.
Yatim, Dr. Badri, MA, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. 12, 2001
D. Inandiak, Elisabeth, Les chants de l'île à dormir debout, Le Rélié, 2002

Pranala luar
Kompas Online:Serat Centhini, Sinkretisme Islam, dan Dunia Orang Jawa, Jumat, 4 Agustus 2000, Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Lakpesdam-NU, Jakarta.
Informasi Serat Centhini
Banjarmasin Post CyberMedia:Kerinduan Hamba Kepada Ilahi, (Centhini - Ia Yang Memikul Raganya), Kamis, 20 Januari 2005, Laddy Lesmana dan Elizabeth D Inandiak, Galang Press, Cet. I, September 2005, Jakarta.

SERAT PEPALI KI AGENG SELA

Iwan Agung Prasetyo menulis
pada 02 Mei 2009 jam 1:35
“Serat Pepali”

Karya ini ditulis oleh Ki Ageng Selo, seorang mistikus Jawa yang hidup antara abad 15, di jaman Kerajaan Demak. Ia adalah cucu Raden Lembu Peteng atau Raden Bondan Gejawan, putra Prabu Brawijaya (Raja Majapahit yang terakhir) dari istrinya yang termuda. Cicitnya, Sutawijaya, menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Kedua (R.M. Soetardi 1980:8-9). Ia hidup di jaman peralihan budaya, dari Buddha-Hindu ke Islam, karenanya karyanya mencerminkan sintesa unsur-unsur mistikal Islam dan Hindu.

Nukilan
“Serat Pepali”

Jalma luwih medharken mamanis, Kang cinatur Kitap Tafsir Alam. Tinetepan umpamane:Ingkang segara agung, Lawan papan kang tanpa tulis, Tunjung tanpa selaga, Sapa gawe iku? Kalawan jenenging Allah. Lan Muhammad anane ana ing endi? Ywan sirna ana apa?

Damar murup tanpa sumbu nenggih, Godhong ijo ingkang tanpa wreksa, Modin tan ana bedhuge, Sentek pisan wus rampung, Tanggal pisan purnama sidi, Panglong grahana lintang, Iku semunipun, Kang sampun awas ing cipta. Aja sira katungkul maca pribadi, Takokna kang wus wignya.

Lawan sastra adi kang linuwih, Lawan Kur’an pira sastra nira, Estri priyadi tunggale, Lawan ingkang tumuwuh, Sapa njenengaken sireki? Duk sira palakrama, Kang ngawinken iku? Sira yen bukti punika, Sapandulang yen tan weruha, sayekti. Jalma durung utama.

Lawan angangsu pikulan warih, Amek geni pan nganggo dedamar, Kodhok angemuli lenge, Rangka manjing ing dhuwung, Miwah baita mot ing jladri, Kuda ngrap ing pandengan. Lan gigiring punglu, Tapake kuntul anglayang, Kakang mbarep miwah adhine wuragil. Tunjung tanpa selaga.

Lawan siti pinendhem ing bumi,Miwah tirta kinum jroning toya, Lawan srengenge pinepe, Lawan geni tinunu, Pan walanjar dereng akrami, Prawan adarbe suta, Ndhog bisa kaluruk, Jejaka rabine papat, Pan wong mangan saben dina-dina ngelih, Lawan mangan sapisan (pan wus marem).

Artinya:
Manusia terpilih membentangkan perihal yang sedap/Yang dibicarakan dalam Kitab Tafsir Alam./Dinyatakan misalnya:/Samudera besar,/Dan tempat yang tak bertulis,/Teratai yang tak berkuncup,/Siapa yang membuat?/Dan nama Allah/dan Muhammad dimana adanya?/Bila lenyap apa yang masih ada?

Pelita menyala tak bersumbu,/Daun hijau tak berpohon,/Muazin tak ada beduknya,/Sekali singgung sudah tamat,/Tanggal satu bulan purnama,/Panglong gerhana bintang,/Itulah lambang,/Manusia yang sudah waspada akan ciptanya./Jangan selalu membaca sendiri saja./Tanyakanlah kepada yang sudah tahu.

Dan sastra indah-utama berapa jumlahnya,/Kitab Al-Quran berapa sastranya,/Perempuan dan laki-laki utama ada berapa jodohnya?/dan berapa jumlahnya yang tumbuh?/Siapa yang memberi nama kepadamu?/Waktu kamu kawin./Siapa yang mengawinkan?/Kalau makan siapa yang menyuapi?/Jika belum mengetahuinya, sebenarnya/Belum menjadi manusia yang utama.

Mencari air membawa sepikul air,/Mencari api membawa pelita,/Katak menyelubungi liangnya,/Sarung masuk ke dalam keris,/dan sampan berisi samudera,/Kuda melonjak dimuka pandangan,/Punggung peluru, dimana?/Bekas kuntul yang melayang-layang,/Kakak si sulung, adik si bungsu,/Teratai tak berselaga.

Dan tanah tertanam dalam bumi,/Atau air terendam dalam laut,/Matahari dijemur,/Dan api terbakar (ditunu),/Janda belum pernah kawin,/Dara (gadis) berputera,/Telur dapat berkokok,/Bujang beristeri empat,/Orang makan sehari-hari lapar,/Dan makan sekali (sudah puas).

KI AGENG SELA

Kyai Ageng Sela atau Ki Ageng Ngabdurahman adalah tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Silsilah Ki Ageng Sela

Nama asli Ki Ageng Ngabdurahman Sela menurut sebagian masyarakat adalah Bagus Sogom. Menurut naskah-naskah babad ia dipercaya sebagai keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit.

Dikisahkan, Brawijaya memiliki anak bernama Bondan Kejawan, yang tidak diakuinya. Bondan Kejawan berputra Ki Getas Pandawa. Kemudian Ki Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Sela berputra beberapa orang putri dan seorang putra bergelar Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pemanahan, penguasa pertama Mataram.

Kisah Hidup Ki Ageng Sela

Kisah hidup Ki Ageng Sela pada umumnya bersifat legenda yang dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi.

Menurut naskah-naskah babad, Ki Ageng Sela pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak. Ia berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, namun ngeri melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan menolaknya masuk ketentaraan Demak.

Ki Ageng Sela kemudian menyepi di desa Sela sebagai petani sekaligus guru spiritual. Ia pernah menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang. Ia kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Ki Ageng Sela juga pernah dikisahkan menangkap petir ketika sedang bertani. Petir itu kemudian berubah menjadi seorang kakek tua yang dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak. Namun, kakek tua itu kemudian berhasil kabur dari penjara.

Untuk mengenang kesaktian Ki Ageng Sela, pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir), dengan dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng.

Bahkan, sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Sela, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.

Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal-usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Sela menggelar pertunjukan wayang dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng jatuh hati pada istri dalang yang kebetulan ikut membantu suaminya. Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk merebut Nyi Bicak.

Akan tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende milik Ki Bicak. Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende tersebut. Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga Mataram. Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.

Selain pusaka, Ki Ageng Sela meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keselamatan, yang kemudian ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki Ageng Sela.

Silsilah Ki Ageng Sela(menurut Babad Tanah Luluhur& Babad Tanah Bali) Urutan ini berdasarkan keturunan terus kebawah Raden Wijaya(Kertarajasa Jayawardana)->>>>>Tribuana Tungga Dewi/Bre Kahuripan II->>>>>Bre Pajang I ->>>>>Wikramawardana/Hyang Wisesa/R Cagaksali->>>>> Kertawijaya/ Bhre Tumapel III->>>>>Rajasawardana /Brawijaya II->>>>>Lembu Amisani/R. Putro/R.Purwawisesa->>>>>Bhre Tunjung/Pandanalas/R. Siwoyo->>>>> Kertabumi/Brawijaya V/R Alit/Angkawijaya->>>>>R Bondhan Kejawan/Lembupeteng Tarub->>>>>R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo->>>>>Bagus Sunggam /Ki Ageng Selo

Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

QORIN

Yang dimaksud dengan qarin dalam surat Qaaf 50:27 ialah yang menyertai. Setiap manusia disertai jin yang selalu memperdayakannya. Allah berfirman, artinya: “Yang menyertai dia (qarin) berkata pula: ‘Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkan tetapi dialah (manusia) yang berada dalam kesesatan yang jauh’…” (QS Qaaf 50:27).

Manusia dan syetan qarinnya itu akan bersama-sama pada hari berhisab nanti. Dalam sebuah hadits (HR Ahmad) Aisyah ra mengatakan:
Rasulullah SAW keluar dari rumah pada malam hari, aku cemburu karenanya. Tak lama ia kembali dan menyaksikan tingkahku, lalu ia berkata: “Apakah kamu telah didatangi syetanmu?” “Apakah syetan bersamaku?” Jawabku. “Ya, bahkan setiap manusia.” Kata Nabi Muhammad SAW. “Termasuk engkau juga?” Tanyaku lagi. “Betul, tetapi Allah menolongku hingga aku selamat dari godaannya.” Jawab Nabi (HR Ahmad).

Berdasarkan hadits ini, Nabi Muhammad juga ternyata didampingi syetan. Hanya syetan itu tidak berkutik terhadapnya. Lalu bagaimana mendeteksi keberadaan jin (misalnya di rumah kita), apa tanda-tanda seseorang kemasukan jin? Tidak ada cara atau alat yang bisa mendeteksi keberadaan jin. Sebab jin dalam wujud aslinya merupakan makhluk ghaib yang tidak mungkin dilihat manusia (QS Al-A’raf 7:27).
Tidak ada manusia yang bisa melihat jin, dan jika ada manusia yang mengklaim mampu melihat jin, maka orang tersebut sedang bermasalah. Bisa jadi dia mempunyai jin warisan atau pun jin hasil dia belajar. Kemampuan ini sebetulnya dalam Islam dilarang untuk dimiliki, dan termasuk dalam kategori bekerja sama dengan jin yang menyesatkan (QS Al-Jin 72:6).

Sesungguhnya, tidak ada cara yang bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan jin. Jangan meminta bantuan orang yang mempunyai ilmu terawang. Sebab kalau kita meminta bantuannya, kita berarti telah meminta bantuan dukun musyrik yang dalam Islam merupakan dosa besar, bahkan bisa mengeluarkan seseorang dari Islam.

Qarin (Jin Pendamping):

Abadullah Bin Mas’ud mengatakan bahwa : Rasulullah saw bersabda; “Tidak ada seorangpun diantara kalian yang tidak ditunjuk untuknya Jin pendamping (Qarin)”. Para sahabat bertanya; “Termasuk anda ya Rasulullah ?, “Ya” jawab Nabi, Hanya saja aku mendapat pertolongan Allah,sehingga Jin pendampingku masuk Islam, dan dia tidak pernah mengajakku kecuali yang baik-baik”.
Jin pendamping (Qarin) Rasulullah saw, adalah bernama Habib al-Huda, beragama Islam dan menurut para ulama sampai sekarang beliau masih hidup, beliau tinggal di Baqi’. Di Baqi’, beliau mempunyai majelis pengajaran tafsir dan hadis-hadis Rasulullah saw yang didatangi oleh jin-jin muslim. Hal ini bisa saja terjadi sebab umur rata2 Jin panjang bisa mencapai ratusan dan ribuan tahun.

Bagi orang kita orang awam akan timbul pertanyaan : Apakah Jin pendamping muslim itu juga pasti muslim ..?, jawabnya tidak mesti. Kadang-kadang Jin pendamping seorang muslim itu adalah jin muslim, tetapi ada juga jin kafir, ateis, penyembah berhalah, kristen, yahudi. Jin pendamping (qarin) yang non muslim ini, bertengger dibahu kiri pada orang yang didampinginya, dan dia adalah pendukung kejahatan. Tetapi pengaruh manusia terhadap jin lebih besar ketimbang pengaruh jin terhadap manusia.
Jin Pedamping yang muslim, sangat mencintai orang muslim yang didampinginya dalam derajat yang tidak dapat dibayangkan oleh manusia. Dia melindungi manusia yang didampinginya dari berbagai bahaya, dan membantu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Ketika anda lupa sholat dia membantu mengingatkan dan membangunkan anda. Dia tidak pernah meninggalkan orang muslim yang didampinginya kecuali orang tsb sedang menggauli istrinya. Ketika sang suami isteri sudah masuk kamar dan pintu ditutup, maka Qarin dengan sekejap sudah berada di Mekkah untuk sholat disana, dan balik lagi dalam waktu sekejap kerumah orang muslim tersebut.

Jin pendamping dikuatkan oleh dalil Al-Qur’an dalam (QS. Qaf:23-31)
[23] Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku”.[24] Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala,[25] yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu,[26] yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat”.[27] Yang menyertai dia berkata (pula): “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh”.[28] Allah berfirman: “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu”.[29] Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.[30] (Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada *******: “Apakah kamu sudah penuh?” Dia menjawab: “Masih adakah tambahan?”.[31] Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).

12/16/2008 - Ditulis oleh r0ch4 | J I N |

ALAM KUBUR 2

Informasi tentang siksa kubur, gelap dan kesendirian dan dahsyatnya siksa kubur kerap menakutiku ketika kecil dulu (dan sampai sekarang). Apalagi juga televisi kita dan majalah Hidayah, gemar benar mengvisualkan hal-hal ini. Meskipun tidak suka, dan cenderung saya punya pandangan nggak begitu. Namun juga tidak punya cukup pengetahuan untuk menolak.

Kadang terbersit pertanyaan, apakah benar disiksa di alam kubur?, sedangkan proses peradilan belum dilakukan?.

“Sesungguhnya seorang mukmin jika akan meninggal dunia dan menghadapi akhirat (akan mati), turun padanya malaikat yang putih-putih wajahnya bagaikan matahari, membawa kafan dari syurga, maka duduk di depannya sejauh pandangan mata mengelilinginya, kemudian datang malaikulmaut dan duduk didekat kepalanya dan memanggil: “Wahai roh yang tenang baik, keluarlah menuju pengampunan Allah dan ridhaNya.”

Berikut ini beberapa Al Qur’an (terj. depag Ind.), yang menurut saya menjelaskan apa yang terjadi dalam alam kubur :
80 :21. kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur,
80:22. kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.
70:43. (yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia),
60:13. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam berputus asa.
36:52. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?.” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).
30 :22. dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.
30:55. Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “mereka tidak berdiam (dalam kubur melainkan sesaat (saja).” Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)
22:7. dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.

Berikut ini saya copy pastekan (link asli tidak ketemu, http://virtualfriends.net/article/)
sekedar untuk membandingkan dengan ayat-ayat di atas, apakah penjelasan tentang kedahsyatan siksa kubur itu sesuai dengan ayat di atas atau tidak?

KEDAHSYATAN SIKSAAN DIALAM KUBUR
Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Albaraa’ bin Aazib r.a. berkata: “Kami bersama Nabi Muhammad s.a.w keluar menghantar jenazah seorang sahabat Anshar, maka ketika sampai kekubur dan belum dimasukkan dalam lahad, Nabi Muhammad s.a.w duduk dan kami duduk disekitarnya diam menundukkan kepala bagaikan ada burung diatas kepala kami, sedang Nabi Muhammad s.a.w mengorek-ngorek dengan dahan yang ada ditangannya, kemudian ia mengangkat kepala sambil bersabda: “Berlindunglah kamu kepada Allah dari siksaan kubur.”. Nabi Muhammad s.a.w mengulangi sebanyak 3 kali.” Lalu Nabi Muhammad s.a.w bersabda:

“Sesungguhnya seorang mukmin jika akan meninggal dunia dan menghadapi akhirat (akan mati), turun padanya malaikat yang putih-putih wajahnya bagaikan matahari, membawa kafan dari syurga, maka duduk didepannya sejauh pandangan mata mengelilinginya, kemudian datang malaikulmaut dan duduk didekat kepalanya dan memanggil: “Wahai roh yang tenang baik, keluarlah menuju pengampunan Allah dan ridhaNya.”

Nabi Muhammad s.a.w bersabda lagi: “Maka keluarlah rohnya mengalir bagaikan titisan dari mulut kendi tempat air, maka langsung diterima dan langsung dimasukkan dalam kafan dan dibawa keluar semerbak harum bagaikan kasturi yang terharum di atas bumi, lalu dibawa naik, maka tidak melalui rombongan malaikat melainkan ditanya: “Roh siapakah yang harum ini?” Dijawab: “Roh fulan bin fulan sehingga sampai ke langit, dan di sana dibukakan pintu langit dan disambut oleh penduduknya dan pada tiap-tiap langit dihantar oleh Malaikat Muqarrbun, dibawa naik kelangit yang atas hingga sampai kelangit ke tujuh, maka Allah berfirman: “Catatlah suratnya di illiyyin. Kemudian dikembalikan ia ke bumi, sebab daripadanya Kami jadikan, dan di dalamnya Aku kembalikan dan daripadanya pula akan Aku keluarkan pada saatnya.” Maka kembalilah roh kejasad dalam kubur, kemudian datang kepadanya dua Malaikat untuk bertanya: “Siapa Tuhanmu?” Maka dijawab: Allah Tuhanku. Lalu ditanya: “Apakah agamamu?” Maka dijawab: “Agamaku Islam” Ditanya lagi: “Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang diutuskan di tengah-tengah kamu?” Dijawab: “Dia utusan Allah”. Lalu ditanya: “Bagaimanakah kamu mengetahui itu?” Maka dijawab: “Saya membaca kitab Allah lalu percaya dan membenarkannya” Maka terdengar suara: “Benar hambaku, maka berikan padanya hamparan dari syurga serta pakaian syurga dan bukakan untuknya pintu yang menuju kesyurga, supaya ia mendapat bau syurga dan hawa syurga, lalu luaskan kuburnya sepanjang pandangan mata.” Kemudian datang kepadanya seorang yang bagus wajahnya dan harum baunya sambil berkata: “Terimalah khabar gembira, ini saat yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” Lalu bertanya: “Siapakah kau?” Jawabnya: “Saya amalmu yang baik.” Lalu ia berkata: Ya Tuhan, segerakan hari kiamat supaya segera saya bertemu dengan keluargaku dan kawan-kawanku.”

Nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Adapun hamba yang kafir, jika akan meninggal dunia dan menghadapi akhirat, maka turun kepadanya Malaikat dari langit yang hitam mukanya dengan pakaian hitam, lalu duduk dimukanya sepanjang pandangan mata, kemudian datang Malaikulmaut dan duduk disamping kepalanya lalu berkata: “Hai roh yang jahat, keluarlah menuju murka Allah.” Maka tersebar di semua anggota badannya, maka dicabut rohnya bagaikan mencabut besi dari bulu yang basah, maka terputus semua urat dan ototnya, lalu diterima akan dimasukkan dalam kain hitam, dan dibawa dengan bau yang sangat busuk bagaikan bangkai, dan dibawa naik, maka tidak melalui malaikat melainkan ditanya: “Roh siapakah yang jahat dan busuk itu?” Dijawab: “Roh fulan bin fulan.” dengan sebutan yang amat jelek sehingga sampai dilangit dunia, maka minta dibuka, tetapi tidak dibuka untuknya. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w membaca ayat: “Laa tufattahu lahum abwabus samaa’i, wala yad khuluunal jannata hatta yalijal jamalu fisamil khiyaath.” (Yang Bermaksud) “Tidak dibukakan bagi mereka itu pintu-pintu langit dan tidak dapat masuk syurga sehingga unta dapat masuk dalam lubang jarum.”

Kemudian diperintahkan: “Tulislah orang itu dalam sijjin.” Kemudian dilemparkan rohnya itu bagitu sahaja sebagaimana ayat “Waman yusyrik billahi fakaan nama khorro minassama’i fatakh thofuhuth thairu au tahwi bihirrihu fimakaanin sahiiq.” (Yang bermaksud) “Dan siapa mempersekutukan Allah, maka bagaikan jatuh dari langit lalu disambar helang atau dilemparkan oleh angin kedalam jurang yang curam.”

Kemudian dikembalikan roh itu kedalam jasad didlam kubur, lalu didatangi oleh dua Malaikat yang mendudukkannya lalu bertanya: “”Siapa Tuhanmu?” Maka dijawab: “Saya tidak tahu”. Lalu ditanya: “Apakah agamamu?” Maka dijawab: “Saya tidak tahu” Ditanya lagi: “Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang diutuskan ditengah-tengah kamu?” Dijawab: “Saya tidak tahu”. Lalu ditanya: “Bagaimanakah kamu mengetahui itu?” Maka dijawab: “Saya tidak tahu” Maka terdengar suara seruan dari langit: “Dusta hambaku, hamparkan untuknya dari neraka dan bukakan baginya pintu neraka, maka terasa olehnya panas hawa neraka, dan disempitkan kuburnya sehingga terhimpit dan rosak tulang-tulang rusuknya, kemudian datang kepadanya seorang yang buruk wajahnya dan busuk baunya sambil berkata: “Sambutlah hari yang sangat jelek bagimu, inilah saat yang telah diperingatkan oleh Allah kepadamu.” Lalu ia bertanya: “Siapakah kau?” Jawabnya: “Aku amalmu yang jelek.” Lalu ia berkata: “Ya tuhan, jangan percepatkan kiamat, ya Tuhan jangan percepatkan kiamat.”

Abul-Laits dengan sanadnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. berkata: “Nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Seorang mukmin jika sakaratulmaut didatangi oleh Malaikat dengan membawa sutera yang berisi masik (kasturi) dan tangkai-tangkai bunga, lalu dicabut rohnya bagaikan mengambil rambut didalam adunan sambil dipanggil: “Ya ayyatuhannafsul muth ma’innatur ji’i ila robbiki rodhiyatan mardhiyah.” (Yang bermaksud) “Hai roh yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan perasaan rela dan diridhoi. Kembalilah dengan rahmat dan keridhoan Allah.” Maka jika telah keluar rohnya langsung ditaruh diatas misik dan bunga-bunga itu lalu dilipat dengan sutera dan dibawa keilliyyin. Adapun orang kafir jika sakaratulmaut didatangi oelh Malaikat yang membawa kain bulu yang didalamnya ada api, maka dicabut rohnya dengan kekerasan sambil dikatakan kepadanya: “Hai roh yang jahat keluarlah menuju murka Tuhammu ketempat yang rendah hina dan siksaNya, maka bila telah keluar rohnya itu, diletakkan diatas api dan bersuara seperti sesuatu yang mendidih kemudian dilipat dan dibawa kesijjin.”

Alfaqih Abu Ja’far meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar r.a. berkata: “Seorang mukmin jika diletakkan dikubur maka diperluaskan kuburnya itu hingga 70 hasta dan ditaburkan padanya bunga-bunga dan dihamparkan sutera, dan bila ia hafal sedikit dari al-quran sukup untuk penerangannya jika tidak maka Allah s.w.t. memberikan kepadanya nur cahaya penerangan yang menyerupai penerangan matahari, dan didalam kubur bagaikan pengantin baru, jika tidur maka tidak ada yang berani membangunkan kecuali kekasihnya sendiri, maka ia bangun dari tidur itu bagaikan masih kurang masa tidurnya dan belum puas. Adapun orang kafir maka akan dipersempit kuburnya sehingga menghancurkan tulang rusuknya dan masuk kedalam perutnya lalu dikirimkan kepadanya ular segemuk leher unta, maka makan dagingnya sehingga habis dan sisa tulang semata-mata, lalu dikirim kepadanya Malaikat yang akan menyiksa iaitu yang buta tuli dan bisu dengan membawa puntung dari besi yang langsung dipukulkannya, sedang Malaikat itu tidak mendengar suara jeritannya dan tidak melihat keadaannya supaya tidak dikasihaninya, selain itu lalu dihidangkan siksa neraka itu tiap pagi dan petang.”

Abu-Laits berkata: “Siapa yang ingin selamat dari siksaan kubur maka harus menlazimi empat dan meninggalkan empat iaitu:
- Menjaga sembahyang lima waktu
- Banyak bersedekah
- Banyak membaca al-quran
- Memperbanyak bertasbih (membaca: Subhanallah walhamdulillah wal’aa ilaha illallah wallahu akbar, walahaula wala quwata illa billah)
Semua yang empat ini dapat menerangi kubur dan meluaskannya. Adapun empat yang harus ditinggalkan ialah:
- Dusta
- Kianat
- Adu-adu
- Menjaga kencing, sebab Nabi Muhammad s.a.w pernah bersabda: “Bersih-bersihlah kamu daripada kencing, sebab umumnya siksa kubur itu kerana kencing. (Yakni hendaklah dicuci kemaluan sebersih-bersihnya.)

Nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Innallahha ta’ala kariha lakum arba’a: Al’abatsu fishsholaati, wallagh wu filqira’ati, warrafatsu fisshiyami, wadhdhahiku indal maqaabiri. (Yang bermaksud) Sesungguhnya Allah tidak suka padamu empat, main-main dalam sembahyang dan lahgu (tidak hirau), dalam bacaan quran dan berkata keji waktu puasa dan tertawa didalam kubur.”

Muhammad bin Assammaak ketika melihat kubur berkata: “Kamu jangan tertipu kerana tenangnya dan diamnya kubur-kubur ini, maka alangkah banyaknya orang yang sudah bingung didalamnya, dan jangan tertipu kerana ratanya kubur ini, maka alangkah jauh berbeza antara yang satu pada yang lain didalamnya. Maka seharusnya orang yang berakal memperbanyak ingat pada kubur sebelum masuk kedalamnya.”

Sufyan Atstsauri berkata: “Siapa yang sering (banyak) memperingati kubur, maka akan mendapatkannya kebun dari kebun-kebun syurga, dan siapa yang melupakannya maka akan mendapatkannya jurang dari jurang-jurang api neraka.”

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata dalam khutbahnya: “Hai hamba Allah, berhati-hatilah kamu dari maut yang tidak dapat dihindari, jika kamu berada ditempat, ia datang mengambil kamu, dan bila kamu lari pasti akan terpegang juga, maut terikat selalu diubun-ubunmu, maka carilah jalan selamat, carilah jalan selamat dan segera-segera, sebab dibelakangmu ada yang mengejar kamu yaitu kubur, ingatlah bahawa kubur itu adakalanya kebun dari kebun-kebun syurga atau jurang dari jurang-jurang neraka dan kubur itu tiap-tiap hari berkata-kata: Akulah rumah yang gelap, akulah tempat sendirian, akulah rumah ulat-ulat.”

Ingatlah sesudah itu ada hari (saat) yang lebih ngeri, hari dimana anak kecil segera beruban dan orang tua bagaikan orang mabuk, bahkan ibu yang meneteki lupa terhadap bayinya dan wanita yang bunting menggugurkan kandungannya dan kau akan melihat orang-orang bagaikan orang mabuk tetapi tidak mabuk khamar, hanya siksa Allah s.w.t. yang sangat ngeri dan dahsyat.

Ingatlah bahawa sesudah itu ada api neraka yang sangat panas dan suram dalam, perhiasannya besi dan sirnya darah bercampur nanah, tidak ada rahmat Allah s.w.t. disana. Maka kaum muslimin yang menangis. lalu ia berkata: “Dan disamping itu ada syurga yang luasnya selebar langit dan bumi, tersedia untuk orang-orang yang takwa. Semoga Allah s.w.t. melindungi kami dari siksa yang pedih dan menempatkan kami dalam darunna’iem (Syurga yang serba kenikmatan).

Usaid bin Abdirrahman berkata: “Saya telah mendapat keterangan bahawa seorang mukmin jika mati dan diangkat, ia berkata: “Segerakan aku.”, dan bila telah dimasukkan dalam lahad (kubur), bumi berkata kepadanya: “Aku kasih padamu ketika diatas punggungku, dan kini lebih sayang kepadamu.” Dan bila orang kafir mati lalu diangkat mayatnya, ia berkata: “Kembalikan aku.” dan bila diletakkan didalam lahadnya, bumi berkata: “Aku sangat benci kepadamu ketika kau diatas punggungku, dan kini aku lebih benci lagi kepadamu.”

Usman bin Affan r.a. ketika berhenti diatas kubur, ia menangis, maka ditegur: “Engkau jika menyebut syurga dan neraka tidak menangis, tetapi kau menangis kerana kubur?” Jawabnya: “Nabi Muhammad s.a.w pernah bersabda: “Alqabru awwalu manazilil akhirah, fa in naja minhu fama ba’dahu aisaru minhu, wa in lam yanju minhu fama ba’dahu asyaddu minhu.” (Yang bermaksud) “Kubur itu pertama tempat yang menuju akhirat, maka bila selamat dalam kubur, maka yang di belakangnya lebih ringan, dan jika tidak selamat dalam kubur maka yang dibelakangnya lebih berat daripadanya.“